Berkaitan dengan teori ini, penelitian S.Q. Fatimi tentang dua surat Maharaja kepada Khalifah Umar ibnu Abd Aziz layak untuk dijadikan pertimbangan.
Dua surat tersebut terdapat dalam karya al-Jahiz, Kitab al-Hayawan. Isi surat tersebut adalah sebagai berikut:
Surat pertama:
Haitam Ibn ‘Adi meriwayatkan dari Abu Ya’qub al-Taqafi dari Abd Malik ibn Umair, ia berkata: Saya melihat dalam Diwan Muawiyah –setelah kewafatannya- sepucuk surat dari raja Cina? Dalam surat tersebut tertulis: Dari Raja Cina –yang memiliki kendaraan seribu gajah, dinding istananya terbuat dari emas dan perak, yang membawahi ribuan kerajaan-kerajaan kecil, dan daerahnya diapit oleh dua sungai besar- untuk Muawiyah…
Surat Kedua:
Nuaim ibnu Hammad berkata, seorang raja dari Hindia? Melayangkan sepucuk surat kepada Khalifah Umar ibn Abd Aziz, di dalamnya tertulis : Dari raja diraja yang memiliki kendaraan seribu gajah, menguasai ribuan kerajaan kecil, daerahnya di kelilingi dua sungai besar yang mengairi tanaman gaharu, pala dan kapur, yang keharumannya menyebar ke seluruh penjuru dan tercium hingga dua belas Mil. Kepada Raja Arab –yang tidak menyekutukan Allah dengan apapun, Amma Ba’du..
Aku telah mengirimkan hadiah kepada tuan raja, dimana hadiah tersebut tidaklah bernilai, tidak lain hanyalah bentuk penghormatan kepada tuan raja. Aku bermaksud memohon kepadamu wahai tuan raja untuk mengutus seseorang yang akan mengajariku agama Islam dan menginformasikan batasan atau hukum Islam.
Salam..
Dalam penelitiannya atas dua surat tersebut, Fatimi menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kata “al-Shin” dan “al-Hind” dalam redaksi surat tersebut bukanlah Cina dan India, melainkan Indonesia.
Argumen ini didasarkan pada istilah “Maharaja”, di mana istilah itu pada masa tersebut adalah gelar untuk raja di Sumatera, tepatnya kerajaan Sriwijaya.
Ditambahkan lagi olehnya bahwa seribu ekor gajah adalah kendaraan kebesaran Sri Maharaja. (QS Fathimi,1963: 122-128).
Pada babak sejarah berikutnya, kontribusi Islam pribumi dalam menyebarkan dakwah ajaran Islam juga dikatakan oleh Mahmud Syakir dalam bukunya bertajuk, Al-Tarikh al-Islamy. Ia menuturkan:
Telah diceritakan dalam berbagai buku-buku sejarah bahwa pedagang-pedagang dari Indonesia telah sampai ke Bagdad pada masa dinasti Abbasiyah di bawah tampuk kepemimpinan Khalifah Harun al-Rasyid.
Ketika mereka kembali ke tanah airnya, di samping membawa keuntungan datangnya mereka juga membawa akidah-akidah Islam dan menyebarkannya ke masyarakat.
Teori pribumi ini memang masih membutuhkan data-data pendukung untuk menguatkan kevalidan atas teori ini. Data-data yang tercecer harus dicari dan dikumpulkan untuk menguatkan teori ini.
Terlepas dari masih diperlukannya data-data yang akurat untuk mendukung teori ini, kontribusi muslim pribumi dalam melakukan proses islamisasi di Nusantara tidak bisa diabaikan.