Bisakah Obama Menyatukan Timur Tengah?

Barack Obama sudah diketahui sangat pandai berpidato. Ia mampu memberikan ceramah menggiurkan tentang perubahan yang akan datang—bukan hanya di AS, tapi juga di seluruh dunia. Pidatonya kepada Majelis Umum PBB menunjukkan, sekali lagi, bukan hanya dengan keterampilan retoris tapi pemahamannya tentang kekuatan-kekuatan yang mendorong hubungan internasional.

Namun pidato itu tidak dapat menjawab pertanyaan besar tentang kepemimpinan Obama: bisakah Obama menerjemahkan kata-katanya menjadi tindakan konkret? Sejauh ini Obama—menurut BBC—belum berhasil di Timur Tengah. Juni silam ia menyampaikan pidato di Kairo, dan kemudian menimbulkan eforia panjang ke seluruh pelosok Arab. Di hadapan sidang PBB, Obama mengakui tak bisa bersikap naïf bahwa betapa sulitnya menciptakan perdamaian di Timur Tengah.

Obama mengulang-ulang terus sikap gagasan besarnya tentang pentingnya keamanan Israel dan hanya sepintas mendukung aspirasi Palestina akan kebebasan. Fakta yang ada: Israel terus memperluas pemukimannya di Palestina. Sementara Obama telah mempertemukan Benjamin Netanyahu dan Mahmoud Abbas—perdana menteri dan presiden (akuan) Palestina—namun hey, dimana Hamas yang berada di garis depan dalam semua urusan kemerdekaan Palestina?

Abbas sama sekali bukan representasi untuk Palestina. Apa arti ketidaksabaran Obama dalam kesempatan itu dan rasa marahnya kepada mereka berdua agar mengesampingkan kepahitan sejarah dan segera melanjutkan perdamaian?

Sebaliknya, George Mitchell, utusan Obama untuk urusan damai Timur Tengah menunjukan bahwa penghentian pemukiman tidak pernah menjadi prasyarat Amerika untuk membuka pembicaraan. Dan ketika Obama meminta untuk menghentikan pemukiman, Netanyahu menolak, bahkan perdana menteri Israel itu mengatakan itu akan jadi skandal memalukan mengingat pengaruh Amerika atas Israel atau sebaliknya, sekutu dekat yang menerima milyaran dolar bantuan militer AS dan dukungan politik tanpa batas.

Tampaknya negosiasi antara Abbas dan Netanyahu akan terjadi dalam waktu cukup lama, yang tanpa ujung, dan pasti tidak akan menghasilkan apa-apa bagi Palestina. Hal itu sudah terjadi di masa-masa sebelumnya, berulangkali dan silih bergantinya presiden AS, tapi tak ada yang dapat membawa Israel kepada sebuah kesepakatan terhadap eksistensi negara Palestina. Obama pasti akan mengalami dan pada posisi yang sama terhadap Israel, meskipun Obama berusaha lebih objektif, tapi tak akan mempunyai arti apa-apa ditengah-tengah lobbi Yahudi, yang sudah menguasai Gedung Putih dan Capitol Hill.

Pertemuan antara Netanyahu, Mahmud Abbas, dan Barack Obama di Gedung Putih, tak lebih dari sebuah opera ‘sabun’, yang dipertontonkan kepada dunia, bahwa pemimpin baru AS itu masih mempunyai keinginan dan nyali di depan politisi Israel, dan bahkan Mahmud Abbas yang mewakili entitias politik Palestina, juga tak lebih sebagai ‘penari altar’, agar pertunjukkan semakin menarik di mata masyarakat dunia.

Tapi, sejatinya pertemuan tiga tokoh di Gedung Putih itu tak lebih dari sekadar opera ‘sabun’ dari seorang pelawak kelas dunia, sambil berbicara tentang hak asasi manusia dan kebebasan. (sa/bbc)