Assel Kami, adalah seorang ibu rumah tangga dan wanita karir yang bekerja sebagai wartawan di Irak. Tapi baginya, pekerjaan yang paling berat bukan pekerjaan jurnalis yang dilakoninya, tapi pekerjaan sebagai ibu rumah tangga.
Kami mengungkapkan, yang ia khawatirkan adalah keamanan di dalam negerinya. Ia masih ingat peristiwa pada bulan Ramadhan tahun lalu ketika sebuah bom mobil meledak di dekat rumahnya.
Saat itu, Kami, ibunya dan anak laki-lakinya yang masih berusia 6 tahun baru saja berkumpul di meja makan untuk makan malam, tiba-tiba terdengar bunyi ledakan yang memekakan telinga. "Saya langsung memeluk Hani (putera Kami) dan berlari ke tempat yang lebih aman di dalam rumah, " ujar Kami mengenang peristiwa itu.
Tak lama kemudian, Kami teringat profesinya sebagai wartawan bahwa ia harus meliput kejadian tersebut. Kami lalu berlari keluar untuk melihat apa sebenarnya yang terjadi. "Saya hanya bisa melihat debu beterbangan dan mendengar orang-orang menjerit. Saya berteriak, ‘ya, Allah apa yang terjadi!’ dan saya mendengar seseorang menjawab ‘bom mobil, bom mobil’ "
Kami bercerita, enam orang termasuk anak perempuan berusia lima tahun tewas akibat bom mobil tersebut. Salah seorang teman Hani, yang baru saja bermain bola dengannya, ikut menjadi korban dan terluka di bagian perutnya. Teman Hani yang lain, kehilangan penglihatan sebelah matanya.
"Saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika anak laki-laki saya masih main bola lebih lama beberapa menit saja, " kata Kami menerawang.
Persoalan lainnya yang dihadapi Kami adalah masalah pendidikan. Ini dialaminya ketika Hani, puteranya, berada di tahun kedua sekolahnya. "Saya memindahkan Hani dari sekolah negeri ke sekolah swasta dengan kantor Reuters. Di sana Hani belajar bahasa Inggris, musik dan mata pelajaran yang tidak saya pelajari saat seusinya. Tapi Hani bisa mengikutinya dengan baik, " tutur Kami.
Dalam dua pekan ini, anak laki-lakinya bisa sekolah dengan tenang, tanpa harus izin tidak masuk sekolah karena khawatir masalah keamanan. Kami mengakui, sebelumnya, ia merasa frustasi tiap kali anaknya kehilangan waktu belajar karena masalah keamanan.
Yang membuat Kami prihatin, pertikaian sektarian di Irak ternyata memberikan "pelajaran baru" bagi puteranya. Kami agak terkejut ketika saat makan malam, puteranya bertanya, "Ibu, saya Syiah atau Sunni?"
Menjawab pertanyaan anaknya, Kami yang selama ini tidak pernah membedakan orang berdasarkan sektenya mengatakan, "Hani, bilang saja bahwa kamu adalah seorang Muslim. "
Karena situasi keamanan di Irak, Kami pernah merasa harus mengurung anaknya agar bermain di rumah saja. Tapi ia menyadari bahwa anak seusia Hani perlu bermain di luar. Setiap hari, Hani menghabiskan waktu dua sampai tiga jam untuk bermain bola di jalan.
"Ketika saya seusia Hani, saya biasa pergi dengan keluarga ke kolam renang atau ke klub sosial. Saya juga sering pergi piknik dengan orang tua dan teman-teman sekolah. Hal-hal yang tidak mungkin dilakukan pada saat ini, " kisah Kami mengenang masa kecilnya ketika suasana di Irak masih damai.
Apa yang dialami Kami, juga dialami para ibu lainnya di Irak, yang khawatir akan keselamatan anak-anaknya karena situasi keamanan yang makin memburuk.
Seorang ibu di kota Baghdad yang tidak mau disebut namanya, bercerita pada Kami, bahwa ia terpaksa meminta puteranya yang berusia 21 tahun untuk berhenti kualiah sementara. Si ibu khawatir karena nama anaknya berbau syiah, sedangkah ia tinggal dan kuliah di lingkungan yang mayoritas kalangan Sunni.
"Saya sangat takut kalau-kalau ia terluka, apalagi ketika saya mendengar sekelompok orang bersenjata masuk ke kampusnya dan membawa dua mahasiswa Syiah, " papar ibu tadi.
Tahun ini, Kami membawa Hani liburan ke Suriah selama tiga minggu. Saya merasa bahagia melihat duduk tenang di kafe dan jalan-jalan di taman dengan aman. Hani merasa betah dan ingin tinggal lebih lama lagi, tapi Kami mengatakan bahwa mereka harus kembali ke Irak karena ia harus bekerja.
"Saya bangga dengan pekerjaan saya. Tapi saya kadang merasa egois, karena saya merasa telah mengambil resiko bagi masa depan anak saya, " tukas Kami yang juga dirasakan ibu-ibu lainnya di Irak. Buruknya situasi keamanan di Negeri 1001 Malam itu membuat mereka khawatir siang malam akan nasib dan keselamatan anak-anak mereka. Kapankah semua ini akan berakhir? (ln/mol)