Beranikah AS Melakukan Intervensi Militer ke Libya?

Menteri Pertahanan Robert Gate, dalam pidatonya yang banyak dibahas di West Point dua minggu yang lalu, mengatakan bahwa Amerika Serikat harus keluar dari bisnis perang.

Selama ini, perang menjadi ladang bisnis paling besar bagi industrialis senjata AS, dan negara-negara seperti Irak dan Afghanistan menjadi tempat untuk melakukan uji coba senjata baru, dan memperdagangkan hasil industri senjata AS. Dalam dekade-dekade terakhir ini, AS masih terus mengembangkan bisnis perang.

Setiap Menteri Pertahanan AS yang baru, pasti akan menganjurkan ‘petualangan’ militer ke berbagai negara. Tetapi, Robert Gate mengutip ucapan Jenderal Douglas Mc Arrthur, mengatakan, keharusan mengirimkan, "Pasukan Amerika ke Asia atau ke Timur Tengah atau Afrika harus dipertimbangkan sungguh-sungguh", ujarnya. Mungkin ini sebuah retorika Gate yang mencoba mereformulasi kebijakan perang AS.

Pernyataan Gate itu disambut gembira oleh oleh kalangan antiperang, yang langsung mengklaim Gates sebagai salah satu dari mereka, sementara itu pernyataan itu dikutuk oleh kalangan "hawk" elang konservatif, yang menyebut Gate sebagai orang yang lemah.

Tapi, kedua belah pihak kehilangan titik temu melihat realitas politik-ekonomi AS sekarang ini. Menurut Gates bahwa sekarang ini, AS telah kehilangan selera untuk terlibat perang konvensional, sampai memerangi ancaman, "Teroris, pemberontaan, kelompok milisi, negara-negara yang membelot dan menentang AS", ujar Gate.

Hal ini disebabkan, sesudah berperang bertahun-tahun di zaman George Bush (senior) dan George Bush (junior), dibandingkan keuntungan bisnis perang dengan krisis ekonomi yang dialami oleh AS tidak sepadan.

Sekalipun militer AS masih dibutuhkan untuk mengatasi krisis di berbagai wilayah di belahan dunia, tetapi krisis ekonomi AS, seperti defisit anggaran dan utang, yang terus menggunung, sudah tidak mungkin lagi AS melakukan petualangan militer. AS mengalami krisis ekonomi besar-besaran yang dampaknya bukan hanya terhadap rakyat AS, tetapi ke seluruh dunia.

Seperti di Libya sekarang ini, di mana diperkirakan pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok oposisi akan cepat berakhir dengan kemanangan, tetapi  ini akhirnya menjadi sebuah ilusi. Saif al-Islam bahkan menyebut Libya akan bisa menjadi negara gagal seperti Somalia. Negara tanpa pemerintahan, di mana yang menentukan kehidupan sehari-hari adalah para ‘war lord’ alias panglima perang.

Pandangan Gate itu akan diuji oleh krisis di Libya, di mana rezim Gadhafi yang sudah tidak lagi memiliki legitimasi, tidak mau menyerah. Walaupun sudah kehilangan dukungan rakyatnya, tetapi Gadhafi masih memiliki dukungan kekuatan militer dan milisi yang setia, dan ini mnejadi pilar kekuasaannya.

Gadhafi mempertahankan kekuasaannya dengan menyewa tentara bayaran yang dapat berbuat kejam terhadap rakyatnya. Gadhafi menciptakan teror yang hebat, dan membuat semua kekuatan politik di Libya berpikir ulang untuk menggulingkannya.

Libya memasuki perang sipil yang sangat mengerikan. Konflik di Libya bisa segera meledak yang dampaknya mempengaruhi stabilitas politik dan keamanan secara global, seperti yang diprediksi oleh Gates. Ribuan orang tewas dan ribuan lainnya luka-luka, ribuan lainnya mengungsi ke negara-negara tetangga, seperti Tunisia dan Mesir. Negara-negara Barat hanya mengakawatirkan para pengungsi itu akan menjadi kekuatan baru bagi Al-Qaidah, dan mengeksploitasi situasi krisis di Libya.

Jadi apa yang harus Amerika lakukan? Pemerintahan Obama mengisyaratkan bahwa sedang mempertimbangkan kemungkinan menerapkan zona larangan terbang  diatas udara Libya untuk mencegah Gaddafi dari membombardir rakyatnya sendiri. Dalam beberapa hari terakhir, sejumlah senator AS, termasuk John Kerry dan John McCain, mendukung untuk mengambil kebijakan itu.

Tetapi pendapat dan pandangan umum di Washington menolak intervensi Barat terhadap Libya, dan intervensi dipandang gagasan yang buruk. Ini akan meningkatkan krisis. Setiap tindakan intervensi AS terhadap Libya, pasti akan semakin menigkatkan kebencian dunia Arab terhadap AS, dan akan dikecam sebagai imperialisme baru.

Perasaan kebencian yang sangat nampak meledak di Tahrir Square, ketika rakyat berjuang menggulingkan rezim Mubarak yang merupakan sekutu utama AS. Perasaan anti AS dan Israel meledak dan menghancurkan semua kepentingan AS di Timur Tengah. Jika AS menambahkan dengan melakukan intervensi terhadap Libya, maka dikawatirkan langkah ini akan semakin menyuburkan sikap anti AS, yang akan menyeruak di seluruh dunia Arab dan Afrika Utara.

Memang Gadhafi telah melakukan pembunuhan besar-besar, seperti yang dia ucapkan, akan membantai separuh rakyatnya, jika hal itu diperlukan. Gadhafi telah melakukan ‘genoside’ (pembantaian massal) seperti yang dilakukan rezim Rwanda, Serbia-Bosnia, dan Kosovo. Tetapip, jika AS menerapkan resolusi PBB dengan melakakukan keputusan ‘no fly zone’, maka AS akan melakukan serangan besar-besaran ke Libya, dan ini akan semakin banyaknya jatuh korban sipil.

Skenario pada pilihan AS melakukan intervensi militer akan membawa negeri Paman Sam itu terperosok ke dalam perang baru, dan akan menambah anggaran perang.

Tetapi, kelompok lobi Yahudi di AS, yang sekarang memegang pengaruh penting, yaitu kelompok Neo-Konservatif (Neo-kon) berusaha medorong agar AS mengambil opsi intervensi militer. (lihat Neo-kon)

Pertama, jika kemelut politik dan militer di Libya, berlanjut tanpa ada kejelasan akhir dari kemelut itu, dan tidak ada yang memenangkan, bukan hanya akan mempengaruhi situasi keamanan regional di Afrika dan dunia Arab, tetapi secara global. Krisis yang berkepanjangan di Libya itu, semakin menjerumuskan keaadaan di Libya menjadi seperti di Somalia, dan ini berarti akan berakibat krisis energi minyak dunia.

Krisis politik dan militer yang terjadi di Libya ini membawa kepada krisis global, dan menyeret situasi global, yang sekarang ini belum pulih dari resesi, dan  akan menghadapi situasi yang lebih buruk, akibat krisis energi minyak, dan membubungnya harga minyak di pasaran internasional, serta pasti mempunyai dampak industri Barat dan Eropa.

Sebuah pilihan yang tidak mudah yang harus diambil oleh AS, tetapi rakyat Libya harus diberi kesempatan untuk menyelesaikan persoalannya sendiri, tanpa adanya intervensi dari manapun.

Negara-negara Arab dan Afrika sedang memasuki situasi baru, dan perubahan ini pasti membawa dampak, terutama hubungan Timur-Barat, di mana selama ini Barat menjadi patronnya, pasti akan berubah.

Mengakhiri krisis di Libya tidak semudah membalikkan tangan. Tetapi, krisis ini akan berhasil dikelola, bila dua negara tetangganya, Tunisia dan Mesir, segera mencapai stabilitas, dan pemerintahan kedua negara berjalan secara efektif. (mah)