Bentrokan Berdarah Antara Muslim dan Buddha Ancam Myanmar

Bentrokan Berdarah Antara Muslim dan Buddha Ancam Myanmar

Ketegangan di Myanmar masih terjadi Senin ini (11/6) setelah kekerasan sektarian melanda kota terbesar negara itu pada akhir pekan lalu. Reuters sendiri menyaksikan massa Muslim dan Buddha saling membakar rumah dan polisi memberikan tembakan ke udara untuk membubarkan kerumunan massa.

Setidaknya tujuh orang tewas dan terluka, pihak berwenang mengatakan, dalam kekerasan komunal terburuk sejak pemerintahan reformis menggantikan junta militer tahun lalu dan berjanji untuk membentuk persatuan di salah satu negara Asia yang paling beragam etnis tersebut.

Bentrokan meletus pada Jumat lalu di kota Maungdaw negara bagian Rakhine, tetapi kemudian menyebar ke Sittwe dan desa-desa terdekat, mendorong pemerintah untuk mengumumkan keadaan darurat pada Minggu malam dan memberlakukan jam malam dari fajar sampai senja.

“Kami sekarang telah memerintahkan pasukan untuk melindungi bandara dan desa-desa Rakhine yang diserang di Sittwe,” kata Zaw Htay, direktur Kantor Presiden mengatakan kepada Reuters. “Pengaturan sedang dilakukan untuk memberlakukan jam malam di beberapa kota lainnya.”

Hal itu juga bisa memaksa Presiden Thein Sein, seorang mantan jenderal yang reformis, berhadapan dengan isu bahwa kelompok-kelompok HAM mengkritik selama bertahun-tahun: eksodusnya ribuan muslim Rohingya yang tak punya negara yang tinggal di sepanjang perbatasan dengan Bangladesh dengan kondisi mengenaskan.

Ahad lalu, Inggris mendesak pemerintah di negara bagian Rakhine membuka dialog untuk meredakan kekerasan sektarian.

Aktivis Rohingya sendiri telah lama menuntut pengakuan mereka sebagai sebuah kelompok etnis pribumi dengan kewarganegaraan penuh dengan hak yang sama, mengklaim keturunan mereka telah berabad-abad berada di Rakhine. Namun pemerintah menganggap mereka sebagai imigran gelap dari Bangladesh dan menyangkal kewarganegaraan mereka.

Dalam beberapa hari terakhir, mereka telah digambarkan sebagai “penjajah” atau “teroris” oleh beberapa warga Burma yang menggunakan kebebasan untuk berekspresi di Internet sembari melampiaskan kemarahan mereka di situs jejaring sosial dan mengekspresikan sentimen anti-Rohingya yang semakin bertambah parah selama beberapa dekade.(fq/reu)