Presiden Palestina Mahmud Abbas membekukan rencana negosiasi dengan Hamas untuk membentuk pemerintahan baru bersama. Pembekuan itu dilakukan, salah satunya karena pernyataan Hamas yang menegaskan tidak mau mengakui Israel.
Salah seorang penasehat Abbas, Ahmad Abdul Rahman mengatakan, Presiden Abbas menangguhkan langkah-langkah untuk membentuk pemerintahan baru, setelah Hamas dan para pemimpinnya mengeluarkan pernyataan yang menimbulkan reaksi negatif dari dunia internasional.
"Negosiasi-negosiasi akan dibekukan sementara sampai Abbas kembali dari kunjungannya ke New York pada pekan depan, menghadiri pertemuan PBB," kata Abdul Rahman.
Pada Sabtu (16/9), PM Palestina, Ismail Haniyah menegaskan pendirian Hamas yang akan tetap berpegang pada dokumen yang ditulis oleh para tahanan Palestina di penjara-penjara Israel. Dokumen itu menyebutkan untuk ‘tidak mengakui eksitensi penjajah’ dan ‘tidak mengakui kesepakatan-kesepakatan damai ada.’
Haniyah mengatakan, kedua isu itu akan disepakati sebagai kerangka untuk melindungi kepentingan rakyat Palestina. Selama ini, Hamas menegaskan bahwa mereka menolak kesepakatan damai yang telah dibuat sebelumnya, seperti kesepakatan Oslo tahun 1993 dan kesepakatan peta jalan damai tahun 2002, yang meyebutkan bahwa eksistensi negara Israel harus diakui.
Meski pihak Fatah menyatakan menangguhkan sementara rencana negosiasi pembentukan pemerintahan baru dengan Hamas, pihak Hamas tetap optimis koalisi itu akan terwujud.
Juru bicara Hamas, Ghazi Hamad mengatakan,"Ada perbedaan-perbedaan pendapat, tapi pada umumnya, segala sesuatunya berjalan lancar. Kita tidak menemui jalan buntu."
"Kami butuh waktu lagi untuk membicarakan perbedaan-perbedaan itu," ujar Ghazi Hamad optimis. (ln/aljz)