Situasi yang tidak kondusif di Belanda, seperti makin kuatnya kampanye anti Islam dan kondisi kehidupan yang menyedihkan, menjadi salah satu faktor hijrahnya para imam senior di negeri itu ke negara-negara Eropa lainnya
Menurut Kepala Deputi Persatuan Imam di Belanda, Muhammad Osalah, banyak iman senior yang memilih hijrah ke negara-negara Eropa yang lain di mana mereka bisa lebih menikmati kebebasan dan hak-hak mereka.
Ia mengungkapkan, imam menghadapi problem imej yang cukup serius di Negeri Kincir Angin itu. Mereka kerap diidentikan dengan kekerasan dan terorisme sebagai akibat pemberitaan media massa. Kondisi ini diperburuk dengan sikap para pemuka masyarakat Muslim yang dianggap lamban dalam mempertahankan perwalian masjid-masjid.
"Sejak serangan 11 September, para imam sering diidentikan dengan penjahat dan ekstrimis. Hal ini merusak citra imam sesungguhnya yang toleran, rela berkorban dan suka membantu, " kata Osalah.
Stereotipe tentang Islam yang disebarkan Barat, tambah Osalah, dengan cepat menimbulkan persepsi orang tentang imam. Para imam dan masjid-masjid selalu disalahkan atas tindakan sebagian kecil warga Muslim, contohnya dalam kasus pembunuhan sutradara film Theo Van Gogh pada tahun 2004 lalu. Van Gogh dibunuh karena filmnya berjudul "Submission" yang bernunasa anti Islam.
Peran pemerintah dalam menyebarkan stereotipe yang merusak citra imam, juga cukup besar. "Pemerintah, langsung atau tidak langsung, memberikan peluang yang luas bagi para politisi dan media untuk memperburuk citra para imam. Mereka bicara soal imam, tidak dengan para imam itu sendiri, " sambung Osalah.
Standar Kehidupan Rendah
Faktor lainnya yang menyebabkan sejumlah imam memilih meninggalkan Belanda, menurut Osalah, karena kondisi kehidupan mereka yang di bawah standar kelayakan.
"Imam yang beruntung bisa mendapatkan gaji bulanan yang cukup, sementara banyak imam yang hidup dari sumbangan para jamaah masjid, " ujar Osalah.
"Sudahkah pemerintah menyediakan standar kehidupan yang layak bagi para imam, sehingga mereka merasa aman dan bisa melakukan tugas sebagaimana mestinya, " tanyanya prihatin.
Para imam juga menghadapi ancaman dideportasi kapan saja, jika mereka melakukan kesalahan atau tidak sepaham dengan pengurus masjid. Sejumlah imam juga merasa hilang harapan untuk mendapatkan izin menetap permanen dan memilih kembali ke negara asalnya. Ada juga imam yang beralih profesi untuk memenuhi kebutuhannya.
Dampak dari semua itu, kata Osalah, Belanda jadi kekurangan tenaga-tenaga imam yang berkualitas, karena jumlah imam yang pindah ke negara lain atau meninggalkan profesi da’inya makin banyak.
"Sekarang, banyak masjid-masjid yang tenaga imamnya digantikan oleh para sukarelawan atau imam yang kualitasnya rendah dan menetap secara ilegal di negeri ini, " tukas Osalah.
Saat ini, jumlah warga Muslim mencapai satu juta dari 16 juta populasi penduduk Belanda. Jumlah imam yang tersisa saat ini, diperkirakan tinggal 40 persen saja yang tersebar di sekitar 450 masjid di negara itu.
Program Imam Lokal
Osalah mempertanyakan program pemerintah yang akan meningkatkan jumlah imam lokal, yaitu imam yang tumbuh dan dididik dari warga Muslim yang memang lahir dan dibesarkan di Belanda, bukan imam yang didatangkan dari negara lain.
Yang menjadi persoalan, program tersebut tidak mendapat dukungan dari pemuka Islam setempat dengan alasan, program tersebut hanya akan melahirkan generasi imam yang pengetahuannya tentang Islam dangkal dibandingkan dengan para imam yang ilmunya sudah mendalam dan mampu menyeimbangkan antara kenyataan hidup sehari-hari dan agama.
Osalah mempertanyakan, bagaimana mereka yang mendaftar jadi imam bisa mempelajari semua aspek dalam Islam selama tiga atau empat tahun saja seperti yang diprogramkan pemerintah Belanda.
"Kita akan memiliki generasi imam yang tidak bisa membaca kitab suci al-Quran dengan benar. Bagaimana mereka bisa mendidik umat Islam tentang agama mereka?" tanya Osalah.
Tahun lalu, Inholland College meluncurkan program pendidikan imam lokal bekerjasama dengan sejumlah organisasi Islam. Sekitar 27 orang mayoritas asal Turki, Maroko dan Suriname mendaftar ke program pendidikan selama empat tahun itu.
Program pendidikan untuk melahirkan imam-imam lokal ini, di bawah pengawasan Menteri Integrasi Belanda, Rita Verdonk. Program itu sendiri merupakan salah satu program pemerintah Belanda dalam rangka memberantas munculnya ekstrimisme di kalangan warga Muslim. (ln/iol)