Keputusan PM Israel Ehud Olmert untuk tidak merespon keinginan komandan tentara Israel untuk melakukan serangan darat ke wilayah Ghaza, adalah berdasarkan pengalaman Israel yang kalah dalam peperangan dengan Hizbullah Libanon beberapa waktu lalu.
Wilayah Utara Ghaza yang dijadikan lokasi pelontaran puluhan rudal oleh pejuang Al-Qassam beberapa waktu lalu, telah memancing kemarahan Israel. Tapi Olmert menahan diri untuk tidak mengerahkan pasukan darat, dan lebih mengutamakan serangan udara.
Olmert tampaknya telah mengambil pelajaran besar dari peperangan selama 32 hari dengan Hizbullah Libanon dan akan melakukan persiapan serangan darat secara lebih hati-hati. Terlebih dengan sejumlah informasi intelejen Israel yang menyebutkan kemampuan pejuang Palestina dan kemampuan rudal mereka yang lebih baik. Itulah yang menyebabkan Olmert ngotot untuk tetap melakukan serangan udara terlebih dahulu untuk menghancurkan basis perlawanan Palestina, utamanya Hamas.
Namun demikian, sejumlah pengamat seperti dilansir Islamonline menyebutkan bahwa serangan darat tetap dipentingkan karena dua hal. Pertama, karena rudal-rudal Hamas telah menimbulkan kerugian jiwa yang banyak dari pihak Israel. Dan kedua, keunggulan Hamas atas Fatah dalam perseteruan antara keduanya.
Menurut Shimon Shafer, koresponden desk politik harian Yodiot Aharonot Israel, penolakan Olmert terhadap apa yang dilakukan Hamas adalah justru karena Olmert belajar dari kegagalan Israel dalam perang Libanon. “Olmert tidak ingin melakukan operasi militer untuk memasukkan pasukannya ke wilayah Ghaza. Karena itu bisa menjadikan Israel harus membayar mahal ketimbang keuntungan yang diperolehnya. Sehingga cukup operasi udara saja untuk meminimalkan korban jiwa dari pihak Israel. ”
Ia menambahkan bahwa Olmert tidak akan setuju bila diminta untuk melakukan pendudukan secara luas di Ghaza, karena memang hal inilah yang jelas-jelas tercantum dalam laporan komisi Winograd yang menyatakan kegagalan Israel dalam perang Libanon. ”
Di sisi lain, menurut Channel 2 televisi Israel, kondisi Israel saat ini terbukti belum bisa memantau kehadiran rudal yang bisa melindungi penjajah Israel yang tinggal di Sdirout dan sejumlah pemukiman lain yang bertetangga dengan Ghaza. Tapi, menurut pengamat juga, langkah menahan diri dari serangan darat yang dilakukan oleh Olmert ini ada batasnya. “Jika Hamas sudah mampu melontarkan rudal ke wilayah An Naqb dan bisa memberi kerugian besar di barisan Israel, maka Olmert diperkirakan takkan segan memberi lampu hijau untuk membunuh para pemimpin politik Hamas, termasuk PM Palestina Ismail Haniyah.
Yang paling dikhawatirkan Israel adalah bila pejuang Palestina bisa menjatuhkan rudal di kota Asqalan yang dihuni oleh puluhan ribu orang Yahudi, dan jaraknya hanya 20 km dari Ghaza. Sedangkan menurut sayap intejen Israel Shabak, pejuang Palestina sudah mampu mengoperasikan rudal Grad buatan Rusia yang jarak tempuhnya mencapai 20 km, dengan membawa muatan bahan kimiawi besar dan bahan peledak. (na-str/iol)