“Jika situasi mulai tenang, kami mulai bergerak perlahan membawa makanan, air, obat, amunisi dari tempat penyimpanan kepada para pejuang Hizbullah. Kami memberi mereka dukungan logistik di sejumlah perkampungan Sunni terkenal Aqruub.” Ini sedikit gambaran yang disampaikan Syaikh Abu Khalid, salah satu pimpinan Jamaah Islamiyah Sunniyah di Libanon. Syaikh Abu Khalid juga kepala militer unit Fajr, yang merupakan underbow Jamaah Islamiyah Sunniyah.
Kepada Islamonline ia menyebutkan bagaimana kerjasama yang terjadi antara kelompok Sunni dan Syiah di Libanon Selatan saat peperangan melawan Israel beberapa waktu lalu. “Itu adalah fase pertempuran “Bertahan dan Menyerang”, ujar Khalid.
Ia menambahkan, setelah memasuki hari pertama peperangan, kaum Sunni sudah merasa bahwa peperangan ini akan berlangsung lama. “Kami mengumpulkan kaum Muslimin di desa Aqruub yang juga termasuk desa Habariba, Kfar Hamam, Kfar Shouba, dan Syab’a. Kami menyatakan sumpah setia untuk berjihad dan bekerjasama dengan perlawanan Hizbullah serta bertahan sampai mati syahid,” kenang Khalid. Setelah itu, mereka mulai melakukan koordinasi dengan pasukan Hizbullah.
Menurut Khalid, kerjasama seperti ini bukan pertama kalinya muncul. Tapi sudah sejak beberapa tahun lalu, tepatnya sekitar awal tahun 80-an. “Apa yang kami lakukan beberapa waktu lalu, sangat sedikit ketimbang apa yang kami lakukan sebelum tahun 1982, saat Israel menyerang Libanon,” ujar Khalid.
Ia juga menceritakan, “Kami dan mereka memerangi musuh yang satu, yakni Zionis Israel. Kami mempunyai aksi tertentu yang dilakukan bersama. Kami meminta mereka untuk bisa saling membantu dalam sejumlah peperangan membebaskan Libanon Selatan tahun 2000, yang menjadi awal penarikan pasukan Israel dari lokasi itu. Kami juga mempunyai sejumlah pos militer di perbatasan yang bersentuhan langsung dengan Israel. Yang paling strategis terletak di Jbal Syaikh, di lokasi Sudana, dekat perkebunan Syab’a yang juga merupakan wilayah yang diduduki kaum Sunni.”
Abu Khalid menyayangkan sikap Militer Libanon yang bekerjasama dengan Suriah menutup kantor pusat mereka setelah ditinggalkan oleh anasir pejuang Fajr, pascapenarikan mundur Israel dari Libanon Selatan tahun 2000. “Dahulu, pos tersebut digunakan oleh pejuang Hizbullah sebagai lokasi permulaan aksi militer mereka,” ujar Khalid.
Kondisi kaum Sunni di wilayah Aqruub mulai mengalami masalah setelah penarikan mundur Zionis dari Libanon Selatan. “Orang-orang Suriah tidak mengizinkan keberadaan pasukan Fajr dan tidak mengizinkan kami membawa persenjataan ke medan tempur. Mereka beberapa kali menggagalkan upaya kami menyalurkan senjata untuk pasukan kami.”
Dalam konteks peperangan 33 hari dengan Israel yang baru berakhir, Khalid menyebutkan pihaknya bergerak pada sejumlah orbit jihad. Orbit pertama adalah orbit untuk mempertahankan diri dan melindungi masyarakat agar tetap berada di tempat mereka dan semaksimal mungkin berupaya agar mereka tidak ikut dalam arus pengungsian. Tahap ini sukses dilakukan pasukan Fajr. “Cara yang kami lakukan dalam hal ini ada pada dua kegiatan. Pertama menanamkan dan meningkatkan kualitas mental mereka melalui pemberian pelajaran maupun ceramah di sejumlah masjid. Dan cara kedua adalah dengan memberi jaminan hidup setiap hari bagi masyarakat yang mau bertahan.”
Secara teknis, Khalid menyebutkan bahwa pihak Jamaah Islamiyah Sunniyah membagi tugas per unit untuk mengawasi sekitar 20 sampai 25 desa. Setiap unit melakukan peran tertentu, baik peran pemantauan dan penjagaan, peran logistik dan distribusinya. “Kami mengambil bantuan dan makanan dari Baqa’ yang berjarak sekitar 60 km dari wilayah kami,” ujar Khalid.
Tentang perang jihad yang mereka lakukan bersama Hizbullah juga diterangkan oleh Khalid. Khalid menjelaskan bahwa sejumlah pejuang Hizbullah terisolir karena sulitnya komunikasi dan terputusnya sejumlah jalan. Karena itu, mereka terputus dari pimpinan militer mereka dan mengatur wilayah mereka tanpa intruksi pusat. “Dalam situasi seperti itu, kami membantu mereka di setiap desa sesuai yang mereka butuhkan. Di sejumlah perkampungan kami menampung persembunyian sejumlah pemuda pejuang. Di kampung lain kami memberi mereka sejumlah mobil dan alat transportasi untuk digunakan membawa rudal atau untuk memperlancar operasi militer. Terkadang mereka menggunakan para pejuang kami juga untuk menyupir mobil. Kami juga turut memasok persenjataan di beberapa desa untuk pejuang Hizbullah.”
Namun demikian, para pejuang Fajr memang tidak terlibat di medan tempur dalam peperangan langsung bersama Hizbullah. Menurut Khalid, sudah ada kesepakatan antara Jamaah Islamiyah dengan Hizbullah, bahwa aksi militer bersama itu hanya akan dilakukan ketika menghadapi Israel yang ingin menembus wilayah perkampungan Sunni. “Ini memang keinginan dari saudara-saudara kami di Hizbullah. Mereka memang tidak ingin melontarkan rudalnya dari sejumlah pos militer kami, meskipun kami mempunyai sejumlah peralatan sederhana untuk melontarkan rudal. Mereka beralasan rudal tidak dilontarkan kecuali dengan perhitungan yang cermat. Kami menghormati sikap mereka. Yang penting bagi kami adalah, serangan itu dapat memberi kerugian bagi Zionis Israel.” (na-str/iol)