Upaya negara-negara Barat, terutama AS untuk menghancurkan Republik Islam Iran terus bergulir bukan hanya karena ketakutan Barat terhadap program nuklir Iran tapi juga keberanian rejim Iran yang berkuasa saat ini untuk menolak tunduk pada kemauan Barat.
Dunia mencatat keterlibatan negara-negara seperti AS dan Inggris dalam penggulingan Perdana Menteri Iran Mohammad Mosadegh yang berkuasa pada tahun 1951. Penggulingan yang didalangi oleh agen-agen intelejen CIA dan Inggris ini, dirancang dengan mengerahkan kekuatan media massa dan para pendukung Shah Iran, Reza Pahlevi yang pro Barat, untuk mengacaukan kondisi dalam negeri Iran, mirip seperti yang dialami Iran saat ini yang terus menerus dirorong oleh kelompok-kelompok yang mengklaim sebagai kelompok oposisi.
CIA, badan intelejen AS dan MI6, badan intelejen Inggris, menggelar operasi khusus yang diberi kode Operasi Ajax pada tahun 1953 untuk menggulingkan pemerintahan Mossadegh yang terpilih lewat pemilu yang demokratis. Operasi tersebut dilakukan berawal dari ketidaksenanagan AS dan Inggris atas kebijakan nasionalisasi industri minyak Iran oleh Mossadegh yang dikenal anti-kapitalisme.
Sejak itu, AS dan sekutu-sekutunya selalu berusaha menggoyang pemerintahan yang berkuasa di Iran, yang tidak mau mengikuti kemauan Barat, dengan berbagai cara. Puncaknya adalah ketika Mahmoud Ahmadinejad terpilih kembali menjadi Presiden Iran yang keduakalinya. Pasca pemilu diwarnai berbagai aksi kerusuhan dan tuduhan kecurangan pemilu yang ternyata tidak terbukti.
Bukan rahasia umum lagi bahwa Barat, utamanya AS mendanai kelompok-kelompok teroris untuk memicu berbagai aksi kekerasan dan kekacauan di Iran. Media Barat sudah banyak mengungkap konspirasi keji AS ini.
Surat kabar Sunday Telegraph pada tahun 2007 mengutip keterangan pejabat CIA yang mengatakan bahwa Intelejen AS memberikan sokongan kepada milisi-milisi etnik bersenjata yang banyak tersebar di wilayah-wilayah perbatasan Iran, sebagai upaya untuk menggoyang stabilitas Iran dari dalam dan hal ini bukan jadi rahasia lagi.
Keterangan pejabat CIA itu menguatkan pernyataan mantan pejabat anti-teror kementerian luar negeri AS, Fred Burton yang mengatakan bahwa serangan-serangan yang melanda Iran akhir-akhir ini ditopang usaha-usaha AS, dengan memberikan kucuran dana dan pelatihan kepada milisi-milisi minoritas Iran, untuk menggoyang stabilitas Iran agar Iran mau menghentikan program nuklirnya. Ketika itu, di wilayah-wilayah perbatasn Iran sering terjadi serangan bom dan serangan terhadap tentara serta para pejabat pemerintah.
Sunday Telegraph menenyebutkan, pelaku aksi-aksi kekerasan di barat Iran adalah suku Kurdi, di barat laut pelakunya suku Azeri, di barat daya, suku Ahawazi Arab dan di bagian tenggara, suku Baluchi. Tapi milisi bersenjata yang paling berpengaruh di Iran adalah Milisi Mujahid Khalq yang beraliran Syiah dan bemarkas di Irak. Di samping itu ada juga Milisi Jundu ar-Rabb yang beraliran Sunni Baluchi, yang pada tahun 2006 lalu menculik dan membunuh sembilan personil Garda Revolusi Iran.
Tahun 2008 lalu, mantan Kepala Angkatan Bersenjata Pakistan, Jenderal Mirza Aslam Baig juga mengungkap peran AS dalam upaya mengganggu stabilitas di dalam negeri Iran. Pada surat kabar Pakistan Daily, pensiunan Jenderal itu mengatakan, AS telah mendanai kelompok Jundullah untukmengganggu ketentraman negara Iran.
Jundullah adalah kelompok milisi yang dipimpin oleh Abdolmalek Rigi dengan wilayah operasi di Baluchistan Iran dan Baluchistan Pakistan. Menurut Jenderal Baig, AS menyediakan fasilitas latihan untuk anggota kelompok Jundullah di kawasan timur Iran. Tugas kelompok itu adalah mengganggu stabilitas negara Iran dan hubungan antara Iran dan negara tetangganya, Pakistan.
Lebih lanjut Jenderal Baig seperti dilansir surat kabar Pakistan Daily mengungkapkan bahwa agen-agen intelejen dari pasukan koalisi pimpinan AS sangat aktif di Afghanistan dan melakukan berbagai upaya untuk menimbulkan kekacauan di Iran, Pakistan, China dan wilayah Rusia.
Aktivitas intelejen AS di Iran diakui oleh mantan penasehat keamanan nasional AS pada masa pemerintahan Presiden George W. Bush, Brent Scowcroft. Dalam acara "Fault Lines" di stasiun televisi Al-Jazeera, Scowcroft mengatakan bahwa AS telah menempatkan agen-agen intelejennya di Iran dan bukan tidak mungkin agen-agen intelejen AS itu terlibat dalam kekacauan di Iran saat ini pasca pemilu yang dimenangkan Mahmoud Ahmadinejad.
Di sisi lain Scowcroft meragukan agen-agen intelejen AS itu mampu menembus kekuatan pasukan Garda Revolusi, kepolisian Iran dan pasukan milisi pemerintah Iran yang menurutnya sangat solid.
Teheran sendiri sudah lama mencium "aroma busuk" keterlibatan AS dan sekutu-sekutunya untuk mengganggu stabilitas keamanan dalam negeri di Iran. Posisi AS makin menguntungkan dengan memanfaatkan sentimen Sunni-Syiah negara-negara Arab, terutama Saudi yang sejak lama perang dingin dengan Iran yang dituding terlalu agresif menyebarkan ke-syiah-annya ke negara-negara Arab yang berbasis Sunni.
Sulit dipungkiri, AS dan sekutu-sekutunya di Eropa berambisi untuk menghentikan program nuklir Iran dan satu-satunya cara untuk menghentikannya adalah dengan "menghabisi" pemerintahan Iran sekarang ini yang dengan tegas menolak tekanan Barat. Seperti yang sudah-sudah, menimbulkan kekacauan untuk menghilangkan kepercayaan rakyat pada penguasa negara yang bersangkutan, adalah teknik yang sering dilakukan agen-agen intelejen AS untuk menggulingkan pemerintahan suatu negara, seperti yang pernah dialami Mossadegh. (ln/aljz/prtv/iol)