Salah satu monumen paling tua yang dirawat baik-baik oleh kaum Muslimin dan dpandang sebagai bagian dari warisan keagamaan mereka ialah Masjid Sulaiman, yang dikenal oleh para penulis Barat sebagai Haikal Sulaiman. Yang paling menarik perhatian masjid itu adalah Kubah Rantai, yang bergandeng dengan Kubah Karang di sisi timur. Tempat sembahyang di Kubah Rantai bertuliskan ayat Alquran: ”Dawud, Kami jadikan engkau penguasa di tanah ini. Memerintahlah dengan adil.” masjid yang dibangun di ”tempat suci Nabi Dawud” di Bukit Zion menurut para sejarawan adalah makam nabi itu. Dalam kompleks ini ada dua masjid, yakni Kubah Karang Suci dan Masjid Al-Aqsa, di samping yang disebut Kubah Musa serta Tahta Sulaiman.
Bukti betapa sayang kaum Muslimin kepada Bait al-Maqdis tampak dalam perkembangan masa-masa selanjutnya. Pada masa pemerintahan Bani Umayyah, Khalifah Abdul Malik Ibn Marwan melanjutkan pembangunan Masjid Kubah Karang dengan uang pajak kepala yang dikumpulkan selama tujuh tahun di Mesir.
Namanya diukirkan di Kubah itu, bertahun 72 Hijriyah. Khalifah dan pangeran silih berganti memugar serta menghias, membuatnya ”bangunan paling indah di dunia atau salah satu monumen paling diabadikan sejarah”. Abdul Malik membangun Al-Aqsa lebih lanjut dan diselesaikan oleh anaknya, Al Walid. Raja Taqiyuddin Ibn Shahinshah yang perkasa, bahkan mengepel lantai Masjid Kubah Karang dengan tangannya sendiri, lalu menyiraminya berkali-kali, dan diakhiri dengan siraman air mawar.
Raja Bani Ayyub mengawali penghiasan Masjid Al-Aqsa. Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (Saladin) terbiasa sekali membawa batu-batu dengan kuda dalam pembangunan dinding kota. Salahuddin inilah yang membawa pasukan Islam menembus pertahanan Al-Quds. Tetapi ia jugalah yang memerintahkan pemugaran kota sampai kepada kondisi yang ada sebelumnya. Ia cuci bersih Masjid Al-Aqsa dan Kubah Karang, dan membuat mimbar yang kemudian dikenal sebagai Mimbar Saladin. Ia juga melanjutkan perluasan Masjid Al-Aqsa dan memulihkan kaligrafinya, sampai masjid it memperoleh kembali kecantikan, keanggunan dan keangungannya.
Semua itu ia lakukan untuk membersihkan kota dari bekas-bekas kekejian pasukan Eropa, yan gtelah menimbulkan bencana terhadap al-Quds pada penyerbuan tahun 1099. Darah ribuan penduduk kota tertumpah di Masjid dan Kota. Ketika Saladin membebaskannya, ia perlakukan prajurit-prajurit Eropa justru dengan cara yang bertolak belakang: penuh toleransi dan maaf. Sampai Stanley, Linpowel, dalam buku sejarahnya tentang Saladin, menulis, ”Proses perebutan Jerusalem oleh Saladin, sudah merupakan fakta tentang sikapnya yang ksatria dan murah hati.”
Al-Quds, dalam suasana Keislaman, memulai babak baru sejarahnya, sebagai pusat spiritual, menyambung rantai sejarah yang terentang selama 1300 tahun. Kecemerlangan memancar dari kawasan Palestina yang Islam. Namun sekarang, Mimbar Saladin musnah, dibakar seorang Yahudi pada 1972. Sejarah Yahudi memang merupakan rantai kesinambungan, dari satu ke lain laku pengkhianatan. (Rol)