Sebuah pertanyaan klasik sebenarnya, tapi kerap menimbulkan perdebatan panas apalagi jika dikaitkan dengan kebijakan-kebijakan dan sikap Barat jika menyentuh persoalan Islam dan umat Islam. Barat kerap menanamkan opini bahwa Islam tidak sejalan dengan konsep dan nilai-nilai demokrasi serta kemanusiaan yang mereka anut. Tak heran jika dengan alasan kebebasan, Barat dan Eropa dengan entengnya mengatakan bahwa kartun-kartun Rasulullah yang diterbitkan oleh harian Denmark adalah salah satu bentuk kebebasan berpendapat dan berekspresi dan umat Islam di seluruh dunia yang memprotes kartun-kartun itu-dianggap anti-kebebasan dan itu artinya anti-demokrasi bahkan dikait-kaitkan dengan ekstrimisme dan terorisme.
Serangan 11 September 2001 AS, telah memicu Islamofobia di Barat dan Eropa yang berdampak pada meningkatnya kecurigaan dan prasangka buruk terhadap umat Islam, diskriminasi, penghinaan dan tekanan terhadap warga Muslim yang hidup di Barat dan Eropa bahkan tekanan terhadap negara-negara Muslim sendiri untuk ikut serta mencanangkan perang melawan terorisme yang dikampanyekan AS. Pada kenyataannya, perang melawan terorisme hanya ditargetkan pada umat Islam dan negeri-negeri Muslim-Irak, Afghanistan, dan kamp penjara Guantanamo contohnya-dan yang banyak menjadi korban perang melawan terorisme adalah umat Islam tak berdosa.
Pernyataan Presiden AS George W. Bush yang sempat mengatakan bahwa invasinya ke Irak sebagai Perang Salib baru, memicu munculnya keyakinan bahwa perang yang terjadi bukanglah perang melawan terorisme tapi perang untuk memberangus Islam dan umat Islam, memberangus budaya dan tradisi Islam, perang budaya karena nafsu Barat untuk menancapkan hegomoninya ke seluruh dunia, termasuk dunia Islam.
Fakta ini, suka tidak suka, menunjukkan kegagalan Barat dalam menerapkan konsep dan nilai-nilai demokrasi yang selama ini diagung-agungkannya dan menjadi komoditas-barang jualan-Barat untuk menguasai dunia Islam. Dibantu dengan kekuatan media massanya, Barat "membual" soal demokrasi dan kebebasan yang cuma dijadikan alat untuk menindas kelompok-kelompok atau negara yang dianggap tidak sejalan dengan keinginannya.
John L. Esposito, profesor bidang Hubungan Internasional, Agama dan Studi Islam di Georgetown University dalam artikelnya berjudul "Muslims and West: A Culture War?" yang dimuat Islamonline mengatakan, Barat selalu berlindung di balik isu demokrasi, kebebasan berekspresi dan hak asasi ketika melakukan penghinaan terhadap simbol-simbol yang dianggap suci oleh umat Islam. Jauh berbeda dengan sikap Barat dan Eropa ketika ada individu atau kelompok yang mempertanyakan atau meragukan tentang tragedi Holocaust. Barat dan Eropa akan sangat marah, bahkan memenjarakan individu atau kelompok yang mengungkit atau sekedar meragukan kebenaran tragedi Holocaust dan individu atau kelompok yang bersangkutan langsung dicap anti-semit (Yahudi).
Pendek kata, di Barat dan Eropa, orang boleh anti-Islam atau Muslim tapi dilarang keras anti-Semit. Logikanya, jika Barat dan Eropa memang konsisten menerapkan demokrasi dan prinsip kebebasan, seharusnya mereka mengecam dan melarang setiap tindakan yang melecehkan keyakinan atau agama orang lain. Tanpa pandang bulu. Karena kebebasan dalam prinsip demokrasi, kata Esposito, bukan kebebasan di ruang hampa, bukan kebebasan yang tanpa batas.
Dalam tulisannya, Esposito mengutip pernyataan seorang Rabbi Yahudi di Prancis, Joseph Sitruk yang mengatakan, "Kita tidak mendapatkan apapun dengan meremehkan agama-agama, melecehkan agama-agama dan membuat karikatur-karikatur yang menghina. Tindakan ini tidak jujur dan tidak menunjukkan sikap penghormatan."
Lebih lanjut dalam artikelnya Esposito menulis, AS berupaya untuk menggandeng Eropa agar mau bekerjasama menerapkan disain hegemoninya dan menancapkan dominansinya di seluruh dunia. Dengan menyebarkan Islamofobia, Barat dan Eropa sengaja menciptakan benturan peradaban dan perang anti-Islam. Ini terlihat dari dukungan buta Eropa terhadap Denmark yang membela pembuat kartun-kartun yang menghina Rasulullah, pelecehan terhadap al-Quran yang dilakukan para interogator di kamp penjaran Guantanamo, dan berbagai kasus lainnya yang memicu pandangan di kalangan umat Islam dan kalangan masyarakat Barat sendiri-meski jumlahnya sangat kecil-bahwa Baratlah yang telah mengobarkan benturan peradaban. Benturan-benturan yang diciptakan Barat inilah, yang menurut Esposito menjadi salah satu pemicu utama munculnya ekstrimisme.
Esposito menyatakan, demokrasi sekular Barat sejatinya tidak hanya mengenalkan kebebasan berekespresi tapi juga kebebasan beragama. Para penganut agama dan yang tidak beragama sekalipun harus mendapatkan perlindungan dan perlakuan yang sama. Dan kebebasan beragama dalam masyarakat yang pluralistik, tukas Esposito, artinya harus menghormati simbol-simbol yang dianggap suci oleh setiap agama dan harus memperlakukannya dengan cara yang layak pula. Islamofobia yang dianggap sebagai penyakit kanker sosial, seperti juga anti-semit tidak bisa diterima dan sama-sama menjadi ancaman bagi masyarakat pluralistik yang demokratis.
John L. Esposito yang juga pendiri Center for Muslim-Christian Understanding dan penulis sejumlah buku tentang Islam dan Umat Islam ini menegaskan, para politisi, pemuka agama, pakar, komentator dan yang paling penting media massa, bertanggung jawab untuk membangun dan menjaga, nilai-nilai demokrasi berdasarkan prinsip keadilan itu. Sikap toleransi dan saling menghormati harus dikembangkan baik di kalangan non-Muslim maupun Muslim. (ln/iol)