Kaum perempuan Irak, makin berani melakukan aksi-aksi bom bunuh diri sebagai perlawanan terhadap penjajahan pasukan AS di tanah air mereka. Karena penjajahan itu bukan hanya menyebabkan kehidupan mereka menderita, tapi juga membuat mereka kehilangan orang-orang yang dicintai.
Umi Mustafa, 41, ikut pelatihan untuk melakukan aksi bom bunuh diri, karena merasa ia tidak punya alasan lagi untuk hidup setelah pasukan AS membunuh suami dan dua anaknya dalam sebuah serangan ke kota Fallujah tahun 2004 lalu.
"Pasukan AS telah menghancurkan hidupku, membunuh ribuan rakyat Irak. Aku kehilangan anak-anak dan suami, aku tidak punya alasan lagi untuk hidup di dunia ini, " kata Umi Mustafa.
Ia mengutuk orang-orang Irak yang menjadi pengkhianat, yang tidak mau bersatu membela tanah air dan mengusir pasukan AS dari Irak. Ia marah pada pemerintah Irak yang malah meminta tentara-tentara penjajah itu untuk tetap berada di Irak.
"Akan kuserahkan hidupku pada Allah, jika pemimpin saya meminta melakukan aksi bom bunuh diri, di manapun, " tukas Umi Mustafa.
Untuk itu, ia rajin datang setiap hari untuk mengikuti berbagai latihan. Mulai dari latihan membawa senjata, mengendarai mobil, mengenakan sabuk untuk keperluan aksi bom bunuh diri dan cara mendekati target yang diputuskan hanya beberapa saat sebelum serangan.
"Aku berdoa setiap hari agar dipilih menjadi salah satu dari 23 perempuan yang ikut latihan, untuk melakukan serangan bom bunuh diri. Aku cuma bilang, aku takkan melakukan serangan jika melihat ada anak-anak di sekitarnya, karena itu mengingatkanku pada anak-anakku yang tercabik-cabik di Fallujah, " tutur Umi Mustafa.
Selain Umi Mustafa, ada perempuan lainnya bernama Shamis Muhammad (bukan nama sebenarnya). Usianya baru 19 tahun dan ia juga ikut latihan cara melakukan bom bunuh diri untuk melawan penjajahan AS.
"Waktu saya menyampaikan keinginan saya pada orangtua saya, ibu saya merasa putus asa dan melakukan berbagai cara untuk mencegah saya melakukan ini semua, " kisah Shamis.
"Tapi, hati saya bersih dan mengatakan bahwa saya harus membela agama dan negara saya dari para penjajah. Ayah saya memberikan banyak wejangan ketika saya menceritakan keputusan saya. Yang bisa ia lakukan hanya mengambil kitab suci, meletakkannya di kepala saya, meminta saya agar berhati-hati dan berdoa untuk kesuksesan saya. Sebagai seorang yang relijius, ayah memahami keinginan saya, " papar Shamis.
Sama seperti Umi Mustafa, Shamis kini berlatih untuk mengunakan senjata dan mengenakan sabuk berisi bahan peledak. Sepanjang tahun 2007 sampai sekarang, tercatat lebih dari 20 peristiwa serangan bom bunuh diri yang dilakukan oleh kaum perempuan Irak. Polisi Irak mengatakan, serangan bom bunuh diri itu kebanyakan terjadi di Baghdad, Baquba dan Kirkuk.
Para pejabat keamanan di Irak, militer AS dan sejumlah pakar menuding para perempuan itu telah menjadi korban eksploitasi kelompok al-Qaidah di Irak. Mereka juga menuding al-Qaidah sengaja merekrut bahkan menculik perempuan-perempuan yang mengalami gangguan mental untuk dimanfaatkan menjadi pelaku aksi bom bunuh diri.
"Kaum perempuan biasanya gampang melewati pos-pos pemeriksaan, karena mereka dianggap bukan ancaman. Tapi nampaknya pemikiran ini harus diubah, karena pakaian tradisional abaya yang mereka kenakan, sangat mudah untuk menyembunyikan bahan peledak di tubuh mereka, " kata Kolonel Ali Jaffar, pejabat senior di kementerian pertahanan Irak.
Seorang psikiatri, Dokter Fareed Abdul-Rahman mengatakan, tidak mudah untuk mengubah pemikiran kaum perempuan yang ingin melakukan aksi bom bunuh diri. Mereka, kata Abdul-Rahman, berpikir satu-satunya jalan untuk berkumpul kembali dengan orang-orang yang dikasihi dan sudah meninggal adalah dengan melakukan bom bunuh diri.
"Tidak mudah memang, tapi saya berhasil mengubah imajinasi mereka dengan hal-hal yang positif dan harapan untuk hidup dalam damai daripada melakukan bunuh diri, yang membahayakan nyawa mereka dan orang lain yang tak berdosa, " kata Dokter Abdul-Rahman. (ln/iol)