Pada 2015, Presiden Djibouti, Ismail Omar Guelleh, mengatakan kepada Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, bahwa dia menginginkan masjid dengan arsitektur Ottoman.
“Turki ingin membedakan dirinya sebagai kekuatan Islam, seperti halnya Arab Saudi selama puluhan tahun,” kata seorang antropolog, Abdoulaye Sounaye, dilansir dari Deutsche Welle, Kamis (19/12/2019).
Dinding Masjid Abdulhamid II dihiasi dengan kaligrafi Ottoman klasik. Bagian kubahnya ditutupi dengan lamela tembaga berlapis emas, dan lampu gantung besar di bagian dalam membangkitkan iluminasi masjid-masjid Turki.
Di samping itu, Turki telah menginvestasikan jutaan dolar dalam upayanya untuk meningkatkan pengaruhnya di seluruh bagian Afrika.
Lebih dari empat dekade, Diyanet telah membiayai pembangunan lebih dari 100 masjid dan institusi pendidikan di 25 negara di seluruh dunia, termasuk negara-negara Afrika, Djibouti, Ghana, Burkina Faso, Mali, dan Chad.
Turki juga telah terlibat dalam renovasi masjid di Afrika Selatan dan pembangunan Masjid Nizamiye, yang terbesar di Southern Hemispher.
Turki juga membantu merenovasi Masjid Islamic Solidarity di ibu kota Somalia, Mogadishu. Ini adalah masjid terbesar di Afrika, dengan ruang untuk 10 ribu orang.
“Inilah cara negara menciptakan reputasi dan menunjukkan kepada orang-orang, ‘Anda dapat mengandalkan kami, kami memiliki sumber daya yang tersedia,'” kata Sounaye.
Saat ini orang-orang dapat menemukan masjid-masjid besar dan megah, bahkan di tempat-tempat di mana tidak ada listrik terjamin. (*end)