Bagaimana Rasanya Menjadi Warga Makkah Saat Musim Haji?

Eramuslim.com – Dulu, banyak warga Makkah membuka pintu rumahnya untuk jamaah haji yang sakit agar bisa dirawat di rumah. Itu adalah saat-saat yang indah

UMAT Islam di seluruh dunia amat mendambakan bisa haji dan umrah ke Makkah. Lantas bagaimana rasanya menjadi warga yang mukim di Tanah Suci itu? Kantor berita Associated Press edisi Selasa (27/06/2023) merekam kesaksian warga asli Makkah dalam sebuah tulisan berikut ini:

Bagi Zainab Abdu, Tanah Suci adalah kehidupannya sehari-hari. Meski lahir di Jeddah, keluarganya kemudian tinggal di Makkah sejak Zainab berusia enam tahun.

Makkah, kawasan gurun dan lembah, di luar musim haji relatif sepi. Zainab beserta keluarga serta teman-temannya biasanya leluasa untuk berpiknik, menunggang kuda, dan berolahraga seperti sepak bola. Ia pun ingat ketika kecil bermain sepatu roda dengan teman-temannya di dekat Masjidil Haram.

“Haram adalah rumah saya,” kata apoteker berusia 29 tahun itu. “Barangkali kebanyakan orang tidak dapat membayangkan bahwa kehidupan kami di Tanah Suci juga sama, yakni melakukan hal-hal yang juga dilakukan oleh orang lain.”

Makkah sehari-hari menjadi tempat tinggal sekitar 2 juta warganya. Sama halnya dengan warga di daerah lain, mereka menjalani rutinitas harian seperti bekerja, belajar, berbelanja, mencuci, hingga membuang sampah.

Lingkungan modern kota Makkah tersebar di antara jalan-jalan raya. Ada banyak mal, pusat kebugaran, sekolah, dan universitas. Kota ini memang kalah mewah jika dibanding kota Teluk seperti Dubai atau Doha, atau bahkan Riyadh. Mal-malnya tergolong masih sederhana.

Agak berbeda dengan kota lainnya, di Makkah ada beberapa kebijakan yang dimaksudkan untuk menjaga kesuciannya. Misalnya tidak memiliki bioskop, meskipun pemerintah mencabut larangan itu secara nasional pada tahun 2018.

Warga yang ingin ke bioskop harus pergi ke kota pesisir Jeddah, sekitar 190 kilometer jauhnya. “Ini adalah kota suci dan perlu dihormati,” kata Zainab. “Ada musik di acara ulang tahun dan perayaan lainnya, tapi tidak berisik.”

Setahun sekali, populasi kota melonjak berlipat ganda saat musim haji tiba. Keamanan diperketat di jalan-jalan untuk mengarahkan lalu lintas. Ada kerumunan besar yang senantiasa bergerak di sekitar Masjidil Haram menuju tempat-tempat suci seperti Mina, Muzdalifah, dan sebagainya.

Bagi warga seperti Zainab, musim haji berarti harus mengalokasikan waktu ekstra dalam berlalu lintas. Warga harus menghindari rute tertentu karena penutupan jalan. Dia juga harus bersiap kerja lembur di apotek, karena begitu banyak jamaah haji yang menderita pilek, gejala flu, sakit perut, atau nyeri otot. Semua itu penyakit khas jamaah haji.

Saat-Saat Indah

Warga Makkah dulunya lebih banyak berinteraksi secara pribadi dengan jamaah haji. Tetapi belakangan ini pihak berwenang banyak melakukan pengendalian untuk mengatur kerumunan.

Banyaknya investasi besar yang mengalir masuk juga telah banyak mengubah wajah Makkah.  “Dulu, orang-orang membuka rumahnya untuk peziarah (jamaah haji –red). Kalau ada yang sakit, biasanya dirawat di rumah. Itu adalah saat-saat yang indah,” kata Fajr Abdullah Abdul-Halim (57 tahun) yang lahir dan besar di Makkah.

Rumah keluarga Fajr dekat dengan Masjidil Haram, sehingga mereka bisa menyaksikan jamaah haji mengitari Ka’bah dari atap rumah. Dulu Fajr sering pergi ke masjid bersama orang tua dan saudaranya setiap sore dan berdiam diri di masjid sampai shalat Maghrib.

Namun kemudian Fajr pindah ke Jeddah setelah menikah. Akibatnya, ia tidak bisa sering-sering ke Masjidil Haram. Apalagi lingkungan di sekitar masjid juga telah berubah dan bahkan tidak dapat dikenali, setelah menjamurnya hotel-hotel monumental, gedung pencakar langit, jalan raya, dan infrastruktur lainnya dalam dekade terakhir.

Baik Zainab dan Fajr, dulu mereka biasa melakukan haji dengan mudah, bahkan tanpa perencanaan sebelumnya. Tapi belakangan ini, ketika peraturan semakin ketat, mereka harus mendaftar sebagaimana orang lain dan membayar mulai dari $1.060 per orang.

Tinggal di Tanah Suci, tentu menjadi kebanggaan tersendiri. Zainab mengenang bagaimana ketika di sekolah dasar “kami disuruh memberi contoh yang baik bagi orang-orang karena status sebagai warga Makkah.”

“Saya selalu bilang bahwa saya beruntung. Saya bisa pergi (ke Masjidil Haram) setiap hari. Orang-orang sangat senang saya tinggal di sini. Kadang-kadang saya merasa ada yang kurang dalam suatu hal, tapi saya sangat bersyukur. Ini adalah hadiah, ”kata Zainab.

“Saat haji, kami biasa membuka rumah untuk tamu. Ketika tamu-tamu itu pergi, kami merasa sedih.”

Barakah dan Rezeki

Sopir taksi asal Bangladesh, Jahid Rojin, menghela nafas. Mobilnya terjebak macet dan jalan merayap, menjauh dari kompleks Masjidil Haram menuju ke lingkungan Aziziyah.

“Selalu seperti ini selama haji,” katanya dalam bahasa Urdu, sambil menunjuk jalan-jalan yang dipenuhi jamaah haji.

Lahir di Dhaka, Rojin telah tinggal di Makkah selama 16 tahun. Banyak warga kawasan Asia Selatan yang tinggal secara permanen di sana.

Selama musim haji, uang setoran kepada pemilik taksi pun melonjak. Biasanya $1.000, menjadi sekitar $1.600 per bulan. Otomatis, ongkos taksi harus dinaikkan dibanding hari-hari biasa.

Rojin juga harus rela pindah dari apartemennya. Sang pemilik menyewakannya kepada jamaah haji agar mendapatkan uang tambahan.

Rojin akan kembali ke apartemen itu setelah musim haji. Lalu lintas, harga, dan lainnya akan kembali normal.

Meskipun demikian, Rojin tetap amat bersyukur bisa tinggal di Makkah. Ada banyak sisi baiknya.

“Barakah dan rezeki yang didapatkan ketika berada di Makkah tidak dapat ditandingi di mana pun di dunia, di mana pun di Arab Saudi. Saya sangat beruntung tinggal di sini,” ujarnya.

(Hidayatullah)

Beri Komentar