Syaikh Abdullah Ibn Munie mengungkapkan, perkiraan itu berdasarkan atas perhitungan astronomi. Atas perhitungan itu pula, hari Arafah pada musim haji mendatang diperkirakan akan jatuh pada Rabu, tanggal 19 Desember 2007.
Syaikh Abdullah Ibn Munie adalah anggota Dewan Ulama Islam Senior dan Komite Kalender Umm Al-Qura. Selain perhitungan astronomi, ia menyarankan agar, penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal juga dilakukan dengan melakukan pengamat bulan, sesuai aturan syariah Islam.
Ia mengutip Hadist Rasulullah yang berbunyi, "Janganlah kamu berpuasa sampai kamu melihat kemunculan bulan sabit, dan janganlah kamu menyelesaikan puasa sampai kamu melihat kemunculan bulan sabit…" (Bukhari).
Lebih lanjut Munie menyatakan, bulan Ramadhan tahun ini akan berlangsung selama 30 hari. Ia juga mengatakan, sangat mustahil bulan Ramadhan dimulai pada Rabu, 12 Oktober 2007.
"Persoalan pengamatan bulan untuk menentukan awal Ramdhan dan Syawal tahun ini adalah, bulan sabit itu akan tenggelam sebelum matahari terbenam, " kata Syaikh Munie memberi alasan.
Menurutnya, bulan akan muncul Selasa (29 Syaban) pukul 03. 44 dan akan tenggelam pada pukul 06. 24, hanya lima menit sebelum matahari tenggelam, jadi sangat tidak mungkin terlihat dengan mata telanjang.
Dalam menentukan awal bulan Rajab, Syaban, Syawal, Dzulhijjah dan Muharram, Syaik Munie juga melakukan konsultasi dengan para astronom di Kuwait dan Mesir, selain dengan astronom di Arab Saudi.
Penentuan awal Ramadhan dan awal Idul Fitri, sampai saat ini masih menjadi perdebatan yang kerap muncul di kalangan para ulama Islam. Termasuk perdebatan apakah yang dijadikan dasar perhitungan adalah perhitungan astronomi atau berdasarkan atas hasil pengamatan bulan seperti yang disebut dalam Hadist.
Satu kelompok ulama menyatakan, teknologi modern bisa digunakan untuk penentuan itu. Sedangkan yang menentang, menyatakan bahwa pengamatan bulan dengan mata telanjang adalah sebuah keharusan sesuai ajaran Rasulullah.
Syed Khaled Shaukat dari Islamic Society of North America berpendapat, sudah saatnya umat Islam melakukan konsensus tentang masalah ini.
"Di era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti sekarang ini, sejumlah umat Islam masih menghindari pemanfaatan ilmu pengetahuan untuk membuat kalender Islam, sehingga membuat orang menunggu sampai tengah malam hanya untuk mendapatkan kepastian hasil pengamatan bulan, " ujar Syed Khaled Shaukat.
Menurutnya, kalkulasi lewat dukungan teknologi modern lebih bisa diandalkan daripada pengakuan dari hasil pengamatan bulan. Pengamatan secara fisik, kata Syed Khaled, selayaknya dilakukan bersama-sama dengan perhitungan berdasarkan ilmu pengetahuan.
"Islam sangat menganjurkan untuk mengemukakan alasan-alasan. Astronomi bisa dengan akurat menentukan waktu kemunculan bulan baru dan interval waktu, kapan bulan sabit tidak mungkin bisa terlihat. Maka, tidak ada salahnya menggunakan basis perhitungan astronomi untuk membantah klaim hasil pengamatan bulan, yang kemungkinan bisa saja salah, " kata seorang ahli seperti dilansir Arabnews. (ln/arabnews)