Aturan Baru Pernikahan, Picu Pro dan Kontra di Kalangan Muslim India

Diterbitkannya Sharai Nikahnama-panduan dan peraturan tentang pernikahan-memicu perdebatan di kalangan Muslim India. Sebagian Muslim menyambut postif panduan tersebut, sebagian lagi menuding panduan yang disusun oleh 30 orang anggota lembaga All-India Muslim Women Personel Law Board (AIMWPLB) itu cuma cari sensasi.

Dalam panduan pernikahan setebal 12 halaman itu disebutkan, pernikahan yang dilakukan dengan cara Islam wajib didaftarkan di kantor urusan pernikahan dan pentingnya pernyataan bahwa pihak perempuan menikah atas dasar kerelaan atau persetujuannya. Lebih khusus lagi disebutkan bahwa seorang suami diharapkan bisa memasak dan menjahitkan baju untuk isterinya, tidak dibenarkan menceraikan isteri lewat SMS, email, telepon atau video konferensi dan melarang seorang suami menyatakan cerai saat sedang dalam kondisi marah atau di bawah pengaruh minuman keras.

Panduan tersebut juga memberikan hak pada isteri untuk menggugat cerai jika suaminya menolak untuk bercerai, jika suami memaksanya melakukan hubungan sex yang tidak normal dan jika suami menjalin hubungan dengan perempuan lain.

"Kami menyusun aturan ini dengan ketat sesuai dengan ajaran Islam, yang dengan jelas melarang segala bentuk pelecehan dan penindasan terhadap seorang isteri oleh suaminya, " kata Presiden AIMWPLB, Shaista Ambar dalam acara peluncuran Nikahnama pekan lalu.

Menurut Shaista, panduan itu disiapkan dalam dua bahasa, Urdu dan Hindi untuk mempermudah pemahaman warga masyarakat tentang hak-hak dan tanggung jawab suami isteri. "Di Nikahnama yang lama, tidak persyaratan yang mewajibkan pengesahan dan pendaftaran perkawinan, serta tidak disebutkan dengan jelas hak-hak kaum perempuan, " tukas Shaista.

Kolomnis asal Mumbai, Hasan Kamaal berpendapat, pembaharuan nikahnama di India bisa dibilang terlambat, jika dibandingkan dengan negara-negara Muslim lainnya, seperti Pakistan dan Arab Saudi. Padahal di India terdapat sekitar 160 juta warga Muslim dari 1, 1 milyar total penduduk India.

"Menyedihkan, kaum laki-laki yang mendominasi All-India Muslim Personal Law Board (AIMPLB), tidak mengambil inisiatif ini dan harus perempuan yang maju untuk membenahinya, " kata Kamaal.

Komentar serupa diungkapkan Anand, dari organisasi MSD yang menjadi wadah bagi kalangan intelektual Muslim dan sekular. AIMPLB adalah badan terbesar yang mewakili kepentingan hukum warga Muslim di India, beranggotakan para ulama. Badan yang didirikan tahun 1973 ini, bertugas memberikan perlindungan dan menerapkan hukum Islam dalam hal pernikahan, perceraian, warisan dan persoalan lainnya yang terkait dengan kepentingan warga Muslim.

Selain yang mendukung Nikahnama yang sudah diperbaharui, banyak juga warga Muslim di India yang mempertanyakan manfaatnya. Dr. Rehan Ansari misalnya, mempertanyakan apa pentingnya mendaftarkan pernikahan. Menurutnya, kehadiran saksi-saksi dalam pernikahan pasangan Muslim, sudah cukup untuk mengesahkan pernikahan itu.

"Nikahnama hanya untuk keperluan negara, tapi bukan sebuah kewajiban keagamaan, " kata Ansari.

Maulana Yasin Akhtar Mishbahi, pendiri dan ketua lembaga riset Darul Qalam di Delhi menilai AIMWPLB dan ketuanya Shaista Ambar, tidak punya latar belakang yang Islami. "Dia juga tidak punya dukungan di kalangan komunitas Muslim, yang sangat penting bagi penerapan Nikahnama, " ujarnya.

Sejumlah ulama menuding AIMWPLB hanya mencari publisitas dan menyerukan agar AIMPLB tidak merespon persoalan-persoalan kecil itu. "Semuanya sudah ada di Quran, Hadist dan buku-buku agama. Tidak perlu lagi Nikahnama, " tandas mereka. (ln/iol)