Aparat kepolisian London dituding telah melakukan pelanggaran HAM serius atas penangkapan dua warga Muslim dalam penyerbuan yang dilakukan tim London Metropolitan Police pada Jumat (2/6).
Tudingan itu dilontarkan oleh para tetangga korban seperti dilaporkan harian Inggris The Observer edisi Minggu (4/6). "Kami ingin mengungkapkan perasan syok dan marah kami yang mendalam atas penangkapan yang terjadi," kata seorang tetangga korban yang tidak mau disebut namanya.
"Anggota keluarga saya dan saya sendiri secara fisik sudah diserang. Saya mengalami luka di kepala yang cukup serius sampai harus menjalani perawatan di rumah sakit," sambung sumber tadi.
Para saksi mata di lokasi kejadian juga mengungkapkan betapa brutalnya tindakan aparat kepolisian dalam operasi penangkapan itu. Menurut keterangan mereka, aparat kepolisian menangkap dan menyeret ke jalan seorang pemuda, warga Muslim. Pemuda itu kemudian direbahkan di trotoar dan sekujur tubuhnya ditutupi plastik. Saksi mata lainnya mengatakan, nenek dari keluarga pemuda itu bahkan digiring keluar rumah dengan tangan diborgol.
Aparat kepolisian menginterogasi seluruh anggota keluarga itu selama hampir 12 jam, kemudian membebaskan mereka tanpa tuduhan apapun. Untuk itu, keluarga korban penangkapan semena-mena aparat polisi Inggris itu sedang mempertimbangkan untuk mengajukan gugatan hukum. Karena mereka terbukti tidak bersalah dan tidak terlibat dalam aktivitas terorisme apapun.
Menurut Asad Rahman, ketua organisasi anti-rasisme Newham Monitoring Project, keluarga korban sudah meminta pengacara Gareth Peirce yang berkecimpung dalam pembelaan hak asasi manusia, untuk membuat gugatan itu.
Korban Alami Trauma
Dalam operasi penyerbuan Jumat kemarin, aparat kepolisian menembak Muhammad Abdul Kahar, sementara saudaranya Abdul Koyair ditangkap. Menurut pihak intelejen Inggris M15, penyerbuan itu dilakukan untuk mencari ‘rompi bunuh diri’ yang bisa mengeluarkan gas beracun.
Pengacara Kate Roxburgh yang mendampingi Kahar, mengatakan bahwa kliennya itu menolak semua tuduhan tentang keterlibatannya dalam aktivitas teroris apapun. Kondisi Kahar sendiri kini sudah mulai pulih dan dalam penjagaan aparat kepolisian di rumah sakit.
Kahar, menurut Roxburgh masih mengalami trauma setelah peristiwa itu dan kini masih merasakan sakit akibat tembakan yang mengenai dadanya. Roxburgh menduga polisi tidak memberi tembakan peringatan terlebih dahulu.
Ia menjelaskan kronologi kejadian yang menimpa kliennya itu. Menurut Roxburgh, Kahar terbangun sekitar jam empat pagi karena mendengar teriakan-teriakan di lantai bawah. Dengan hanya mengenakan piyama dan tanpa senjata, Kahar bangun dari tempat tidurnya dan tergesa-gesa turun ke bawah.
"Ketika ia berada di belokan tangga, belum tahu apa yang sedang terjadi di bawah, aparat polisi muncul pada saat yang bersamaan di hadapannya dan langsung menembaknya- dan itu tanpa peringatan apapun," papar Roxburgh.
"Dia tidak diminta untuk diam atau diberi peringatakan dan dia tidak tahu bahwa orang yang masuk kerumahnya adalah polisi sampai akhirnya dia ditembak. Dia beruntung masih hidup," sambungnya.
Atas peristiwa itu, Independent Police Complaints Commission (IPCC) sudah melakukan penyelidikan dengan pengawasan Deborah Glass, komisaris IPCC untuk wilayah London dan wilayah tenggara Inggris.
Insiden penembakan ini mengingatkan pada peristiwa salah tembak yang terjadi pada 22 Juli 2005 lalu oleh polisi Inggris terhadap warga asal Brazil Jean Charles de Menezes, pascaperistiwa bom London, Juli 2005.
Aparat kepolisian ketika itu sedang gencar-gencarnya memburu pelaku serangan bom London. Dengan menggunakan pakaian preman, sejumlah anggota polisi mengejar de Menezes sampai ke stasiun kereta bawah tanah. Karena mengabaikan peringatan untuk berhenti, salah seorang polisi menembaknya sebanyak lima kali.
The Observer menyatakan seorang pejabat tinggi kepolisian Inggris, Sir Ian Blair dan dua komandan yang bertanggungjawab atas operasi itu kemungkinan akan menghadapi tuntutan hukum atas tewasnya de Menezes. Menyusul kasus bom London, Blair memerintahkan anak buahnya untuk menembak ‘orang yang dicurigai sebagai pelaku pengeboman’ di bagian kepala.
Kebijakan yang didukung oleh PM Tony Blair itu dikecam oleh para aktivis hak asasi kemanusiaan di Inggris, karena targetnya adalah kelompok etnis minoritas. (ln/iol)