Gagalnya pertemuan Roma untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata atas konflik Israel-Hiznullah, dianggap sebagai lampu hijau oleh Israel untuk lebih meningkatkan serangan kejinya ke Libanon.
Radio Israel melaporkan, rapat kabinet yang dipimpin PM Israel Ehud Olmert, Kamis (27/7) memutuskan untuk lebih mengintensifkan serangan udara dan menambah pasukan baru untuk dikerahkan ke Libanon.
"Kemarin di Roma, Kita telah mendapatkankan otorisasi untuk melanjutkan operasi kita sampai Hizbullah terusir dari Libanon selatan," kata Menteri Kehakiman Israel, Haim Ramon pada radio militer Israel.
Seperti diketahui, dalam pertemuan Roma kemarin, lima belas negara dan tiga badan internasional tidak mampu berbuat apa-apa ketika AS menyatakan menentang adanya gencatan senjata di Libanon. AS tetap memberikan dukungannya pada Israel untuk membombardir Libanon dan menghancurkan Hizbullah.
"Siapapun yang masih berada di Libanon selatan, terkait dengan Hizbullah. Kita harus memanfaatkan keuntungan ini bahwa Kita telah mendesak Hizbullah dengan pasukan udara dan artileri, dan berhati-hatilah ketika Kami menggunakan pasukan darat," ujar Ramon sesumbar.
Ia juga mengatakan, bahwa kekuatan serang maksimum harus digunakan untuk mengalahkan Hizbullah.
Disisi lain, polling yang dilakukan surat kabar terbitan Israel, Maariv hari Kamis kemarin menunjukkan peningkatan jumlah responden yang menginginkan Israel menghentikan serangannya ke Libanon.
Media Massa Kecam AS
Sikap AS yang menolak adanya gencatan senjata dalam pertemuan Roma hari Rabu kamarin, menuai kritikan tajam dari media massa Eropa dan Libanon.
"Semua alasan yang selama ini membuat dunia Arab mempercayai AS, telah lenyap," tulis harian Libanon berbahasa Inggris Daily Star. Harian itu mengatakan, AS telah memberi lampu hijau bagi Israel untuk melakukan pembunuhan.
Di media-media massa Eropa kata kata dan istilah seperti "Kelumpuhan", "Pengabaian", "Kegagalan", "Pemberangus Gencatan Senjata" banyak digunakan dalam komentar-komentar terhadap hasil pertemuan Roma.
Harian Inggris, Daily Telegraph menuding AS telah memanfaatkan lima belas negara yang ikut dalam pertemuan Roma untuk "memupuskan harapan atas penerapan gencata senjata segera" di Libanon.
Koresponden surat kabar The Independent di Libanon, Robert Fisk juga mengecam sikap AS. "Rencana ini-seperti semua rencana AS di Libanon, sama persis dengan keinginan Israel-menampakkan kesombongan yang besar seperti yang ditampakkan konsul jenderal Israel di New York, yang pekan kemarin mengatakan bahwa ‘banyak masyarakat Libanon yang menghargai apa yang kami lakukan’," ujar Fish.
Mayoritas media massa di Perancis juga menulis, kegagalan pertemuan di Roma menjadi ‘lampu hijau’ bagi Israel untuk terus menyerang Libanon.
"Markas Besar Tsahal (militer Israel ) sudah tahu bahwa mereka bisa mengandalkan dukungan diam-diam dari AS," tulis harian kiri, Liberation.
Harian konservatif, Figaro menuliskan, "Menlu Perancis Phillipe Douste-Blazy sudah ‘beradu pendapat dengan keras’ dengan Rice. Namun, meski Perancis sudah berupaya..konferensi itu memberikan kebebasan bagi Israel untuk melanjutkan operasi militernya terhadap Hizbullah."
Harian terkemuka di Italia, Corriere della Sera mengatakan, "Rice, yang memegang kunci bagi kemungkinan perubahan, hanya memegang kunci itu dan tidak menggunakannya."
Surat kabar La Republica menulis,"Diveto oleh Rice, Gencatan Senjata Gagal"
"Penentangan Rice untuk segera memberlakukan gencatan senjata, telah membuat Menlu AS terasing, di mana AS selama lima tahu ini wira wiri dalam perangnya melawan terorisme," tulis harian itu. (ln/iol)