Sejumlah pakar menilai, AS sudah kalah dalam perang yang diciptakannya sendiri yaitu perang global terhadap terorisme. Perang AS terhadap terorisme tidak membuat situasi dunia menjadi lebih aman.
Mayoritas dari 116 pakar dan mantan pejabat AS mengungkapkan hal tersebut dalam survei yang dilakukan majalah terkemuka AS, US Foreign Policy Magazine bekerja sama dengan Center for American Progress. Hasil survey yang dirilis pada Selasa (4/7) menunjukkan, 84% dari mereka yang diwawancarai meyakini bahwa AS sudah kalah dalam perang global melawan terorisme.
Presiden Council on Foreign Relations yang berbasis di New York, Leslie Gelb pada majalah itu mengatakan, "Jelaslah sudah bagi Bush dan hampir semua timnya, bahwa mereka memiliki pandangan yang sama sekali tidak realistis terhadap apa yang mereka pikir bisa dicapai dengan kekuatan militer dan ancaman-ancaman kekuatan lainnya."
Hasil survei juga menunjukkan bahwa 86% responden yakin dunia menjadi tempat yang lebih berbahaya dalam lima tahun belakangan ini dan 80% responden yakin bahwa AS akan menghadapi ancaman-ancaman baru dalam satu dekade mendatang akibat tingkah lakunya.
Mereka yang disurvei adalah para mantan menteri AS, penasehat keamanan nasional, pejabat tinggi kemiliteran, anggota komunitas intelejen, para akademisi dan wartawan.
Mayoritas responden melontarkan kritik yang tajam atas sejumlah kebijakan AS terkait dengan keamanan nasional termasuk, diplomasi publik dan operasi intelejen. Dan hampir semua ahli yang disurvei setuju bahwa aparat keamanan nasional AS dalam kondisi yang sangat bobrok meski mereka banyak melakukan operasi anti terorisme pascaserangan 11 September.
Kebijakan AS Picu Terorisme
Para pakar percaya bahwa perang global melawan terorisme yang dilakukan AS tidak membawa hasil karena pemerintahan Bush gagal untuk mengatasi akar persoalan dari terorisme.
"Kita kalah dalam perang melawan terorisme karena kita hanya memperhatikan gejala-gejalanya saja dan tidak penyebabnya," kata Anne-Marie Slaughter, Kepala Woodrow Wilson School of Public and Internasional Affair, Universitas Princeton.
Michael Scheuer, Kepala CIA unit Usamah bin Laden yang bertugas pada 1996-1999 setuju dengan pendapat Marrie. Ia menyatakan, Washington sudah bersikap sebagai musuh terburuknya sendiri dalam perang melawan terorisme, akibat kebijakan luar negerinya.
"Sudah jelas bahwa Kita kalah. Sekarang, bin Laden, Al-Qaidah dan sekutunya hanya memiliki satu persoalan yaitu kebijakan luar negeri AS terhadap dunia Islam," kata Scheuer.
"Dampak yang terakumulasi dari sejumlah peristiwa yang terjadi dua tahun ini sudah mengarah pada makin meningkatnya kebencian Muslim pada Amerika, bahkan untuk hal yang sederhana hanya karena mereka orang Amerika," sambungnya menunjuk skandal Abu Ghraib dan Guantanamo sebagai contoh.
Sementara itu, mantan pejabat senior di badan intelejen internasional Perancis (DGDE), Allain Chouet mengatakan, kebijakan AS di Timur Tengah yang sudah "mengubah Irak menjadi Afghanistan baru", sudah menjadi pemicu kuat bagi munculnya generasi-generasi yang radikal.
Menurut Chouet, keberadaan AS di Irak dan kekejaman yang dilakukan militernya serta keberadaan kamp Guantanamo yang tidak masuk akal menjadi ‘alasan’ bagi kekerasan yang dilakukan kelompok-kelompok radikal.
"AS sudah jatuh ke dalam perangkap lama para teroris-mereka telah menyerang target yang salah," yang menyebabkan kerusakan dan memicu perlawanan, tambah Chouet.
Perang Ide, Bukan Hanya Perang Senjata
Lebih jauh mayoritas pakar yang disurvei menyatakan, perang seharusnya lebih ditekankan pada kemenangan ide, bukan hanya senjata. 80% responden meyakini, penolakan yang makin meluas terhadap ideologi-ideologi radikal di dunia Islam menjadi elemen penting untuk menang.
"Pandangan kami, bahwa ideologi yang dianut kalangan fundamentalis Islam telah menggantikan ideologi komunis yang pernah menjadi musuh utama kita, telah memicu pendukung pandangan al-Qaidah di dunia," ujar Marrie Slaughter.
Terkait masalan ini, Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld dalam sebuah kesempatan mengakui bahwa AS sudah jauh tertinggal dengan al-Qaidah dan musuh-musuhnya yang lain dalam hal penyampaian informasi melalui media digital. Hal ini menurut Rumsfeld berbahaya bagi AS dan oleh sebab itu AS harus memperbaharui metode lamanya yang sudah ketinggalan zaman.
Untuk menjangkau masyarakat Arab dalam menyampaikan propagandanya, pemerintahan Bush mendirikan radio musik pop, Radio Sawa pada 2002 dan mendirikan jaringan televisi berita Al-Hurra pada 2004. Selain itu, pemerintahan Bush juga menerbitkan majalah gaya hidup, Hi yang dicetak sebanyak 55.000 kopi dan disebarkan secara gratis ke 18 negara. Namun semua upaya itu, gagal untuk merebut hati masyarakat Arab agar memberikan dukungan pada AS.(ln/iol)