Salah satu laporan diplomatik yang dipublikasikan Wikileaks menyebutkan bahwa 1 dari 3 anak muda Muslim di Inggris memperkenankan membunuh atas nama Islam dan sebagian besar dari mereka menginginkan penerapan syariah Islam.
Surat kabar Inggris Daily Mail Reporrter memuat laporan diplomatik AS yang dibocorkan Wikileaks itu. Laporan diplomatik AS yang dibuat tahun 2009 itu isinya mengutip hasil survei lembaga Center fo Social Cohesion terhadap 600 Muslim dan 800 non-Muslim di 30 universitas di seluruh Inggris.
Hasil survei tersebut menunjukkan, 32 persen responden Muslim membolehkan membunuh atas nama agama, 40 responden menginginkan penerapan syariah Islam dan 54 persen responden Muslim di Inggris menginginkan berdirinya sebuah partai politik yang mewakili agama mereka di parlemen dan mewakili pandangan mereka di dunia.
Dalam ribuan pesan kabel diplomatik AS yang dipublikasikan Wikileaks, disebutkan bahwa sikap radikal di kalangan anak muda Muslim di Inggris makin meningkat. Untuk itu, upaya merangkul komunitas Muslim di Inggris menjadi "prioritas tertinggi bagi para staf kedutaan besar AS", seperti yang tertulis dalam pesan kabel diplomatik AS tertanggal 5 Februari 2009.
"Meski pemeluk Islam jumlahnya hanya 3 sampai 4 persen dari seluruh populasi penduduk Inggris, menjangkau mereka sangat vital bagi kepentingan kebijakan luar negeri AS di AS dan di negara lainnya … ini merupakan misi utama yang menjadi prioritas," demikian bunyi pesan tersebut.
Dalam pesan itu juga disinggung tentang rencana AS untuk "melibatkan diri dan membangun kapasitas masyarakat" untuk mencegah kemungkinan makin meningkatnya kekerasan dan ekstrimisme di Inggris.
Wikileaks juga memublikasikan pesan kabel diplomatik pemerintah AS tahun 2006 yang isinya menyatakan bahwa pemerintah Inggris membuat "kemajuan kecil" dalam menangani komunitas Muslim dan melawan munculnya ekstrimisme di dalam negerinya.
Pesan-pesan kabel diplomatik yang dipublikasikan Wikileaks menggambarkan bagaimana pemerintah AS kurang percaya pada kemampuan pemerintah Inggris dalam menangani dan melibatkan diri dalam persoalan yang terkait komunitas Muslim di negeri itu. Situasi ini mendorong kedubes AS di Inggris untuk membuat program pemberdayaan komunitas Muslim di Inggris guna "memobilisasi sikap antiekstrimisme" dan "membangun daya tekan di masyarakat."
AS membeberkan rencananya itu sebulan setelah sebuah laporan diplomatik mengungkap tingginya tingkat pengangguran di kalangan komunitas Muslim dibandingkan dengan tingkat pengangguran di kalangan penganut agama lain.
Laporan diplomatik itu juga menyebutkan bahwa tingkat ketidakmampuan dalam bekerja di kalangan Muslim merupakan yang terringgi, sekitar 24 persen untuk laki-laki dan 21 persen untuk perempuan. Data statistik lain menyatakan bahwa kelompok Muslim merupakan kelompok yang tidak siap untuk bekerja atau tidak dengan aktif mencari pekerjaan karena sakit, alasan studi atau komitmen terhadap keluarga. (n/aby)