Seperti sudah diduga sebelumnya, dunia internasional setengah hati untuk mencari solusi konflik di Timur Tengah. Lima belas negara yang menggelar pertemuan di Roma, Italia, Rabu (26/7) gagal mencapai kesepakatan gencatan senjata hanya karena AS menentang upaya itu.
Pertemuan yang berlangsung selama lima jam, hanya menghasilkan janji bahwa mereka akan terus bekerja untuk menciptakan gencatan senjata ‘permanen dan untuk jangka waktu lama’, namun tidak menghasilkan langkah konkrit untuk menghentikan pertempuran seperti yang diinginkan pemerintah Libanon, negara-negara Arab dan Sekjen PBB Kofi Annan.
Negara-negara itu juga hanya menyerukan agar Israel ‘menahan diri’ untuk tidak memperluas serangannya ke Libanon.
Kondisi itu terjadi karena sikap AS yang menyatakan menolak diterapkannya gencatan senjata, kecuali situasi di Libanon sudah memungkinkan.
Menlu AS Condoleezza Rice dalam konferensi pers usai pertemuan kemarin mengungkapkan, "Kita harus punya rencana yang bisa menciptakan kondisi di mana kita bisa menerapkan gencatan senjata untuk jangka waktu yang lama."
Kondisi yang dimaksud Rice mengacu pada resolusi PBB nomor 1559 yang menyerukan perlucutan senjata dan larangan semua kelompok bersenjata di Libanon termasuk Hizbullah, serta seruan agar pemerintah Libanon menggunakan otoritasnya untuk mengawasi wilayah teritorialnya.
Pernyataan Rice ini kembali menegaskan dukungannya terhadap Israel dan keengganan dunia internasional untuk menentang keinginan AS.
Seorang diplomat, seperti dikutip Associated Press mengungkapkan, para diplomat yang hadir dalam pertemuan Roma berusaha keras untuk mencapai sebuah konsensus, hingga permbahasan dihentikan selama satu setengah jam. Perdebatan terjadi saat menentukan poin-poin persyaratan untuk menghentikan pertempuran.
Menlu Perancis Phillipe Douste-Blazy menyesalkan gagalnya pertemuan Roma untuk gencatan senjata. "Tidak ada kesepakatan dan kami setuju untuk terus bekerja secepat mungkin untuk menghentikan kekerasan. Kami lebih suka menggunakan kata ‘segera’ daripada kata ‘mendesak’ dalam pernyataan kami," katanya.
PM Libanon Fuad Siniora yang berharap segera diterapkan gencatan senjata, kecewa dengan hasil pertemuan Roma. Namun ia mengatakan, sudah ada sejumlah kemajuan tapi masih tetap banyak yang masih harus dilakukan.
Soal Pasukan Perdamaian
Pertemuan Roma, juga tidak menghasilkan keputusan yang tegas tentang rencana pembentukan pasukan perdamaian. Menurut Menlu AS, semua peserta pertemuan setuju dengan rencana pembentukan pasukan internasional di bawah mandat PBB.
"Mandat untuk membentuk pasukan keamanan akan dibicarakan dalam beberapa hari kedepan. Kami sudah meminta untuk dilakukan pertemuan mendesak untuk menyatukan pasukan," kata Rice.
Hal serupa diungkapkan Menlu Italia. Ia mengatakan, hampir semua negara yang ikut dalam pertemuan Roma setuju dengan rencana pembentukan pasukan penyangga di Libanon selatan. Namun masih terjadi perbedaan pendapat tentang komposisi dan persyaratan di bawah siapa pasukan itu akan dikerahkan.
Presiden Perancis, Jacques Chirac menolak ide untuk mengirimkan pasukan NATO sebagai pasukan penyangga seperti diusulkan Israel. "Bagi Perancis, NATO tidak punya tempat untuk membentuk pasukan semacam itu," kata Chirac dalam wawancaranya dengan surat kabar Le Monde.
Ia menambahkan, persoalannya, NATO disukai atau tidak di Libanon, karena NATO adalah sayap militer kelompok negara Barat.
ICG Desak Gencatan Senjata
Sementara itu, organisasi Internasional Crisis Group (ICG) yang berbasis di Brussel, Belgia mendesak agar segera diberlakukan gencatan senjata untuk menghentikan pertumpahan darah di Timur Tengah.
Dalam laporannya, ICG mengatakan, pertempuran antara Hizbullah dan pasukan Israel merupakan ‘siasat perang’ yang dengan cepat meluas menjadi ‘perang eksistensial’ Oleh sebab itu, untuk mencegahnya adalah dengan menerapkan gencatan senjata agar aksi saling serang bisa segera dihentikan.
"Untuk mencapai tujuan itu, dibutuhkan kesepakatan dalam dua langkah; pertukaran tahanan dan kesepahaman antara semua pihak, termasuk Hizbullah bahwa keberadaan PBB saat ini di Libanon selatan akan diperkuat dengan pasukan multinasional," demikian bagian isi laporan tersebut.
ICG mengingatkan, serangan Israel hanya akan menyebabkan Libanon ke ‘titik kehancuran’ dan hal itu tidak menjadi jaminan bahwa Hizbullah akan melemah.
"Apakah Hizbullah dan sekutunya harus disudutkan, mereka punya kemampuan untuk bereaksi, bahkan jika harus mengorbankan stabilitas negaranya," ujar ICG.
Lebih lanjut ICG menyatakan, Kalaupun kesepakatan gencatan senjata tercapai, situasinya masih akan rawan dan perlu didukung dengan diplomasi yang intensif untuk mencari akar persoalan dari konflik yang terjadi. (ln/iol)