AS Kaji Mengapa Banyak Pemuda Muslim Eropa Bergabung dengan Perlawanan Irak?

Diam-diam Kementerian Luar Negeri AS mengirim delegasi ke sejumlah negara Eropa dalam beberapa pekan terakhir ini. Misinya, melakukan kajian tentang realitas umat Islam di Eropa dan mencari problematika sosial mereka.

Di berbagai negara Eropa itu, delegasi AS juga melakukan pertemuan dengan sejumlah wakil organisasi Islam dan melakukan dialog soal latar belakang sebagian pemuda Muslim yang cenderung melakukan tindak terorisme. Khususnya, mereka yang kemudian menempuh perjalanan jihad ke Irak untuk memerangi pasukan AS.

Safari para delegasi AS itu sudah dimulai sejak hari-hari terakhir Ramadhan hingga pertengahan bulan Oktober lalu. Kepergian mereka seiring dengan waktu pengadilan atas jaringan kaderisasi mujahidin ke Irak, di Belgia. Mereka juga ingin menyisir jaringan pemuda Islam di Prancis dan Inggris yang pergi ke Irak.

Menurut sumber di Dewan Penanganan Agama Islam Prancis, yang tak ingin disebut identitasnya, “Delegasi AS telah bertemu dengan perwakilan minoritas Muslim di sejumlah negara Eropa khususnya Prancis, Belgia, Spanyol dan negara Skandinavia.”

Mereka dipimpin oleh staf Kementerian Luar Negeri AS yang membidangi wilayah Eropa Danial Freid, didampingi Dubes AS di setiap negara yang dikunjungi. Dijelaskan pula, “Meskipun kunjungan ini secara resmi adalah untuk melakukan kajian dan penelitian terkait problematika umat Islam di Eropa, dan prosentase perwakilan mereka dalam politik, tapi sebenarnya agenda utama kunjungan mereka adalah berupaya melacak sebab-sebab yang mendorong pemuda Muslim dari generasi kedua dan ketiga berangkat ke Irak dan bergabung dengan organisasi perlawanan. ”

Dalam pertemuan-pertemuan ini, Danial Freid secara terbuka menyampaikan kekhawatiran Washington soal semakin bertambahnya jumlah mujahidin di Irak. Menurut data AS, ada sekitar 300 Muslim Eropa yang bergabung ke dalam barisan perlawanan Irak, khususnya jaringan Al-Qaidah di Irak.

“Meskipun orang-orang ekstrim di kalangan Muslim Eropa tak lebih dari 1%, tapi mereka bisa memunculkan ancaman serius bagi keamanan nasional karena orang Eropa tidak perlu visa untuk masuk AS, ” jelas Freid seperti disampaikan sumber di Prancis. (na-str/iol)