Menjelang peringatan tahun keenam perang AS ke Afghanistan, kritik keras atas proyek “Kemenangan perdamaian dan kemerdekaan” yang diusung presiden AS Bush, bermunculan. Kesalahan membunuh warga sipil oleh pasukan AS, menjadi bahan bakar yang kian mengobarkan kebencian pemuda Afghanistan.
Gerakan Taliban yang menjadi salah satu target Bush untuk dilumatkan, meskipun telah tersingkir dari kekuasaan di Afghanistan, ternyata tetap ada secara de fakto. Bahkan kekuatan milisi bersenjata Taliban telah membuktikan kekuatannya untuk secara maraton melakukan serangan terhadap pasukan AS dan NATO.
Pengamat yakin bahwa serangan-serangan milisi Taliban kini makin bergelora, hingga tidak hanya terbatas pada wilayah yang menjadi basis kekuatannya di Afghanistan Selatan tetapi juga meluas ke wilayah Konduz, sisi utara Afghanistan. Gerakan Taliban bahkan kini mulai menyentuh upaya mengembalikan penguasaan mereka atas kota Kabul. Pertanyaannya adalah, bagaimana mereka memperoleh persenjataan yang digunakan dalam serangan-serangannya?
Taliban juga kini mulai melakukan taktik perjuangan baru dengan menculik warga asing di Afghanistan. Mereka mendapatkan cara itu cukup efektif untuk unjuk gigi kekuatan mereka hingga memaksa pihak lain untuk mengakui eksistensi Taliban, dan terdorong untuk berunding dengan Taliban sebagai sebuah negara.
Direktur Pusat Kajian Sejarah Maqrezi dan Pakar Masalah Dunia Islam, Hani As Siba’I mengatakan bahwa sumber kekuatan pertama yang mendorong Taliban makin massif melakukan serangan adalah mesin pembunuh AS. Dikatakannya, perilaku AS yang berulangkali melakukan kesalahan hingga membunuh rakyat sipil, seperti bensin yang semakin menyalakan api kemarahan pemuda Afghanistan terhadap AS.
Menurut As Siba’I, dalam dialognya dengan Aljazeera, rakyat Afghanistan secara prinsipil menolak kehadiran pasukan asing di tanah mereka. “Ini adalah belantara manusia yang dikuasai dan dilindungi oleh Mula Umar beserta pasukan Talibannya. Dan karenanya, Washington harus tahu bahwa peperangan yang dilakukannya di Afghanistan tidak akan berlangsung mulus seperti yang diinginkannya, ” ujar As Siba’i.
Catatan lain yang mengemuka dari para pengamat soal kian intensifnya serangan Thaliban adalah, faktor penguasaan Taliban melakukan strategi perang gerilya dan strategi mengepung kota. “Sejarah perang Afghanistan melawan Rusia, strategi ini belum dikenal. Tapi Thaliban mengambil pola perang ini dari Irak, ” ujar As Siba’i. Sebab utamanya adalah, saat ini milisi bersenjata di Afghanistan cenderung bersatu dan tidak terlalu dibeda-bedakan dengan kelompok sebagaimana dalam perang mengusir Rusia.
Strategi serangan yang juga belakangan dilakukan Taliban adalah, aksi serangan bunuh diri. Dari 15 kasus serangan bunuh diri di tahun 2005, meningkat menjadi 123 kali serangan bunuh diri sepanjang 2006. Dan hingga pertengahan tahun 2007 ini, telah terjadi 103 aksi serangan bunuh diri. (na-str/aljzr)