Sejak kembali terserang stroke pada Rabu (4/1) kemarin, kondisi PM Israel Ariel Sharon makin memburuk. Ia kini dikabarkan dalam kondisi koma di Rumah Sakit Hadassah. Yerusalem. Sebelumnya, Sharon sudah menjalani operasi selama 6 jam karena pendarahan di bagian otaknya. Namun dari hasil scanning terakhir, terjadi pendarahan lagi di sejumlah tempat di bagian otak. Para dokter yang merawatnya menyatakan kemungkinan besar Sharon harus operasi lagi, namun mereka masih harus memantau perkembangan kondisi Sharon.
Situs Aljazeera melaporkan, sampai hari ini, Jumat (6/1) Sharon masih dalam kondisi tidak sadar dan mengenakan alat bantu pernapasan. Direktur RS Hadassah, Dr. Mor-Yosef pada Kamis kemarin mengatakan, akan berjuang tanpa kompromi untuk menyelamatkan nyawa Sharon.
Berita mengenai kondisi Sharon menjadi headline harian terbesar di Israel, Yedioth Ahronoth. Harian itu menyebut kondisi Sharon yang sedang koma saat ini sebagai ‘Akhir dari Peperangan’ (The Final Battle).
Sementara itu para pengamat dan analis menyatakan, kondisi Sharon akan berpengaruh pada peta perpolitikan di Israel dan akan menimbulkan keprihatinan mendalam bagi masa depan perdamaian di Timur Tengah.
"Tidak seorang pun yang bisa menyatukan negara di tengah keputusan berat yang harus diambil seperti yang dilakukan Sharon. Kalau bukan Sharon, sulit dibayangkan ada orang lain yang akan mengambil tugas yang amat berat untuk mencabut sebagian besar pemukim Yahudi," papar Yossi Klein-Levi, seorang analis Israel.
Utusan Khusus AS untuk wilayah Timur Tengah, Dennis Rose mengaku pesimis dengan masa depan Israel karena menurutnya, sulit untuk mencari pengganti Sharon setidaknya untuk saat ini.
"Anda sudah mengesampingkan seseorang yang telah mengerahkan daya upayanya bagi setiap perubahan dan anda sudah membiarkannya tanpa penghargaan… saya melihat ini sebagai masalah besar dan sangat mengganggu," kata Rose.
Reuters menyebutkan, dalam beberapa tahun belakangan ini, Sharon lah yang mendominasi perpolitikan di Israel, mulai dari rencana invasi ke Libanon pada 1982, penarikan pemukim Yahudi dari Jalur Gaza dan pemisahan dirinya dari partai Likud.
Reaksi Palestina
Para pejabat di Palestina juga berpendapat jika terjadi ‘sesuatu’ terhadap Sharon maka akan terjadi ‘kevakuman’ di Israel. Presiden Palestina Mahmoud Abbas menyatakan, ia selalu memantau perkembangan kesehatan Sharon dengan ‘kepedulian yang besar’. Ia menegaskan bahwa ‘kondisi Sharon’ tidak akan mempengaruhi pemilu legislatif di Palestina dan menjamin pemilu tidak akan ditunda. Abbas juga sudah menelpon kantor Sharon untuk menyampaikan rasa simpatinya terhadap kondisi Sharon.
PM Palestina Ahmed Qorei menyatakan, kondisi saat ini merupakan peristiwa besar yang akan menimbulkan reaksi di Israel dan di seluruh wilayah Timur Tengah. Dalam suratnya yang dikirim ke pemerintah Israel, Qorei mengatakan rakyat Israel akan mengenang Sharon sebagai ‘seorang pemimpin dan seorang pengambil keputusan.’
Pejabat Palestina lainnya, juru runding Saeb Erekat mengatakan, keluarnya Sharon dari panggung politik akan mengubah seluruh aturan main dan berpotensi akan makin meluasnya kekerasan. "Ini akan mengguncang seluruh Israel, mulai dari atas sampai bawah," kata Erekat seperti dikutip AFP.
Nabil Shaath, deputi perdana menteri Palestina menyatakan, ia tidak pernah percaya Sharon memiliki keyakinan dalam proses perdamaian, namun kondisinya sekarang akan meningkatkan situasi ketidakpastian terhadap proses negosiasi.
Pendapat berbeda dilontarkan faksi pejuang Hamas. Hamas menyatakan, seluruh wilayah akan jauh lebih baik tanpa kehadiran Sharon, karena Sharon adalah orang yang melakukan pembunuhan dan terorisme selama beberapa dekade terhadap bangsa Palestina. (ln/iol/aljz)