Arab Saudi untuk sementara bebas dari ancaman sangsi Amerika Serikat, karena dianggap sudah melakukan upaya untuk meningkatkan toleransi beragama di negara kerajaan kaya minyak itu.
AS memasukkan negara Arab Saudi dalam ‘daftar pemantauan’ pada tahun 2004 dan mengancam akan menjatuhkan sangsi pada negara itu jika tidak memperluas kebebasan beragama.
Tindakan memasukan sebuah negara ke dalam ‘daftar hitam’ karena dianggap tidak menerapkan tolerasi beragama, baru pertama kalinya dilakukan AS berdasarkan undang-undang negaranya tahun 1998.
Departemen Luar Negeri AS, selanjutnya mengeluarkan surat pernyataan membatalkan tuntutan dan mengatakan bahwa pihaknya sedang melakukan pendekatan pada Saudi untuk membicarakan sejumlah persoalan kebebasan beragama. Misalnya meminta Saudi untuk menghapus hal-hal yang bernuansa penghinaan terhadap Yahudi dalam buku-buku pelajaran sekolah.
Atas dasar itu, pemerintahan Bush harus memutuskan apakah akan memperpanjang surat pernyataan pembatalan tuntutan atau menerapkan sangsi terhadap Arab Saudi yang menjadi negara sekutunya.
Juru bicara Deplu AS, Sean McCormack mengatakan, departemen luar negeri sudah menyampaikan pada Kongres bahwa pihaknya memutuskan untuk tetap memberlakukan surat pernyataan tersebut karena Arab Saudi mau bekerjasama untuk mengedepankan sikap yang lebih toleran dan membentuk sebuah komisi hak asasi untuk mengkaji keluhan-keluhan yang muncul dalam masalah kebebasan agama.
Arab Saudi tidak memiliki perangkat hukum yang memberikan perlindungan terhadap kebebasan beragama. Undang-undang negara itu mengatur bahwa semua warga negaranya adalah Muslim. Praktek-praktek keagaamaan selain Islam di muka umum dianggap ilegal.
Kelompok oposisi dan hak asasi di Arab Saudi mempertanyakan sejauh mana Arab Saudi sudah meningkatkan kebebasan beragamanya, khususnya dalam melakukan ‘pembersihan’ dalam buku-buku teksnya. (ln/aljz)