Dengan kesepakatan ini, salah satu misteri utama selalu sejauh mana Khan bertindak sendiri atau di bawah perintah pemerintahannya. Khususnya dengan kesepakatan Korea Utara, semua tandanya adalah para pemimpin tidak hanya sadar tetapi terlibat erat.
Kadang-kadang dikatakan bahwa Khan hanya mengejar uang. Itu tidak begitu sederhana. Selain bekerja sama dengan pemimpin negaranya, ia ingin mematahkan monopoli Barat atas senjata nuklir.
“Mengapa beberapa negara (Barat) diizinkan menyimpan senjata untuk keamanan mereka dan bukan negara lain,” katanya semasa hidup. Dia mengkritik apa yang dia lihat sebagai kemunafikan Barat.
“Saya bukan orang gila,” ujarnya. “Mereka tidak menyukai saya dan menuduh saya melakukan segala macam kebohongan yang tidak berdasar dan dibuat-buat karena saya mengganggu semua rencana strategis mereka.”
Orang lain di jaringannya, beberapa di antaranya yang ditemui jurnalis yang menulis buku tentang Khan, tampaknya lebih tertarik pada uang. Kesepakatan Libya, yang ditengahi pada 1990-an, menawarkan imbalan tetapi juga mempercepat kejatuhannya.
MI6 Inggris dan CIA Amerika sejak itu mulai melacak Khan. Mereka mengawasi perjalanannya, menyadap panggilan teleponnya dan menembus jaringannya, menawarkan sejumlah besar uang (setidaknya USD 1 juta dalam beberapa kasus) untuk membuat anggota menjadi agen mereka dan mengkhianati Khan.
“Kami berada di dalam kediamannya, di dalam fasilitasnya, di dalam kamarnya,” kata seorang pejabat CIA, yang menolak diidentifikasi, seperti dikutip dari BBC, Senin (11/10/2021).
Setelah serangan 11 September 2001, ketakutan bahwa teroris bisa mendapatkan senjata pemusnah massal meningkat, dan begitu pula kompleksitas berurusan dengan Pakistan dan membujuknya untuk bertindak melawan Khan.