Republika sempat diundang dalam kunjungan yang disinggung diplomat 37 negara dalam surat teranyar pada Maret lalu. Kunjungan tersebut ditata sedemikian rupa, mulai dari kunjungan ke museum terorisme, pasar utama di Xinjiang yang dipenuhi tarian dan nyanyian, kemudian ke kamp-kamp reedukasi. Kunjungan dikawal ketat petugas RRC dan wawancara tak bebas dilakukan.
Kendati demikian, Republika berhasil mendapatkan kesaksian soal penghuni kamp vokasi yang “dididik” hanya karena menjalankan ajaran agama yang mereka yakini. Para peserta didik juga dilarang melaksanakan shalat di kamp vokasi dan hanya bisa beribadah saat dipulangkan sepekan sekali. Sejumlah mushala di Xinjiang juga tampak ditutupi dan dipagari garis polisi hingga tak bisa digunakan beribadah dengan leluasa.
Surat dari 37 negara menambahkan, sejak tiga tahun terakhir tidak ada serangan teror di Xinjiang. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RRC Geng Shuang menyambut baik surat tersebut. “Kami meminta negara-negara terkait untuk menahan diri dari melayangkan tudingan tak berdasar sebelum mengunjungi Xinjinag,” kata dia dalam konferensi pers kemarin.
Ia menekankan, tantangan terorisme dan ekstremisme di Xinjinag memerlukan pendirian pusat-pusat vokasi tersebut. Geng juga mengingatkan, sejak pusat-pusat reedukasi itu berdiri, sepanjang tiga tahun belakangan tak ada serangan terorisme di Xinjiang.
Surat terkini yang dikirimkan ke Dewan HAM PBB membelah negara-negara di dunia terkait sikap mereka terhadap RRC untuk persoalan Xinjinag. Sebelumnya, surat kecaman yang meminta RRC membebaskan para “tahanan” di pusat reedukasi di Xinjiang ditandatangani oleh duta besar dari Australia, Austria, Belgia, Kanada, Denmark, Estonia, Finlandia, Prancis, Jerman, Islandia, Irlandia, Jepang, Latvia, Lituania, Luksemburg, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Spanyol, Swedia, Swiss, dan Kerajaan Inggris.
Sementara, daftar lengkap negara-negara yang menandatangani surat dukungan untuk RRC adalah Aljazair, Angola, Bahrain, Belarusia, Bolivia, Burkina Faso, Burundi, Kamboja, Kamerun, Kepulauan Komoro, Pakistan, Kuba, Republik Demokrat Kongo, Mesir, Eritrea, Gabon, Kuwait, Laos, Myanmar, Nigeria, Korea Utara, Oman, Pakistan, Filipina, Qatar, Rusia, Arab Saudi, Somalia, Sudan Selatan, Sudan, Suriah, Tajikistan, Togo, Turkmenistan, Uni Emirat Arab, Venezuela, dan Zimbabwe.
Sejumlah negara tak ada dalam daftar di kedua surat berbalas tersebut. Di antaranya Amerika Serikat yang sedianya tergolong keras mengecam kondisi di Xinjiang. Gedung Putih belakangan memang tengah menerapkan kebijakan tangan besi terhadap imigran di AS.
Selain itu, negara-negara Eropa Timur juga enggan mengambil sisi kecuali Estonia, Latvia, dan Lituania yang ikut gerbong pengkritisi RRC. Dari Asia tengah, kawasan yang secara geografis paling dekat dengan Xinjiang, Kazakhstan, Kirgistan, dan Uzbekistan tak mengambil sisi. Padahal, etnis Kazakh dan Kirgis termasuk di antara yang dimasukkan dalam kamp-kamp reedukasi selain etnis Uighur. Sementara, dari wilayah itu, Tajikistan dan Turkmenistan mendukung RRC.
Negara-negara yang juga belum mengambil sisi dalam adu surat di Dewan HAM PBB adalah Malaysia, India, Indonesia, dan Bangladesh. Masing-masing negara meliputi mayoritas umat Islam di dunia. Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbanyak, kemudian India memiliki jumlah Muslim terbanyak urutan ketiga, dan Bangladesh di posisi keempat. Sri Lanka dan Maladewa yang belakangan diberitakan sangat bergantung pada bantuan ekonomi RRC juga sejauh ini masih bersikap netral.
Kementerian Luar Negeri RI sejauh ini belum memberikan keterangan soal posisi terkini Indonesia. Kendati demikian, Direktur Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri RI Achsanul Habib sebelumnya mengatakan, Indonesia sudah menyampaikan sikap mengenai Uighur melalui hubungan bilateral.
“Sudah beberapa kali Menlu, yang berkaitan tentang Uighur ini, kami masukkan ke dalam kerangka kerja hubungan bilateral,” kata Achsanul, pekan lalu. [ld]