Perang di Libya jadi buah simalakama bagi AS. Negara Paman Sam itu mulai kewalahan menyediakan dana untuk perangnya di Libya guna menumbangkan Moammar Gaddafi, karena anggaran untuk perang itu terus membengkak di luar perkiraan semula.
Kenyataan ini makin mempedalam keraguan akan kebijakan perang pemerintahan Barack Obama terhadap Libya, dan ditengarai akan makin mempertajam pertentangan antara pemerintahan Obama dan Kongres yang selama ini mengkritik pemerintahan Obama karena dianggap kurang melakukan pengawasan terhadap perang ke Libya yang terjadi sejak pertengahan Maret kemarin.
Sementara itu, jajaran petinggi militer AS tidak bisa menentukan kapan perang melawan Gaddafi itu akan berakhir. Panglima pasukan NATO Laksamana Michael Mullen menyatakan bahwa NATO tidak punya gambaran kapan konflik dengan Libya akan berakhir. Sementara Menteri Pertahanan Robert Gates memastikan bahwa pasukan AS akan tetap terlibat dalam perang di Libya sampai kapanpun.
Di sisi lain, meski pemerintah AS mengklaim ada kemajuan, perang di Libya faktanya menemui jalan buntu dan belum berakhir meski sudah berlangsung berbulan-bulan, bahkan dipekirakan akan berlangsung panjang sampai bertahun-tahun. Bagi Kongres, melihat kondisi AS yang terseok-seok menutupi defisit anggarannya yang mengejutkan dan keraguan bahwa AS akan memenangkan perang yang dikobarkannya di sejumlah negara, maka perang Libya dipandang terlalu lama dan terlalu mahal untuk ditoleransi.
Perang Libya, Perang yang Boros
Financial Times baru-baru ini merilis memo milik Pentagon tentang rincian anggaran yang dikeluarkan pemerintah AS untuk membiayai perangnya di Libya. Dari memo tersebut, muncul kesan kuat bahwa pemerintah AS mulai kewalahan untuk memenuhi kebutuhan biaya perangnya di Libya, karena anggaran yang dikeluarkan ternyata lebih besar dari estimasi yang dilakukan Pentagon, bahkan defisit sampai ratusan juta dollar.
Menteri Pertahanan AS Robert Gates bulan Mei kemarin mengatakan bahwa Pentagon membutuhkan dan sekitar 750 juta USD dalam tahun fiskal 2011, untuk membiayai upaya melindungi rakyat Libya dari "kekejaman" Moammar Gaddafi.
Tapi, sebuah memo yang dikeluarkan Pentagon yang berisi laporan detil perkembangan operasi militer AS di Libya, disebutkan bahwa sampai pertengahan bulan Mei, operasi militer AS di Libya sudah menelan dana sebesar 664 juta USD, dan angka itu dibenarkan oleh Departemen Pertahanan AS.
Dokumen bertajuk “United States Contribution to Operation Unified Protector’’ menambahkan keterangan, bahwa biaya perang di Libya yang dikeluarkan AS per hari rata-rata 2 juta USD atau 60 juta USD per bulan. Informasi ini sudah tersebar di Kongres sejak pekan kemarin, namun Departemen Pertahanan AS menolak berkomentar tentang membengkaknya biaya perang itu.
Pengeluaran tersebut jauh diatas perhitungan yang dilaporkan kantor pengawas Departemen Pertahanan pada rapat dengar pendapat dengan Kongres pada akhir Maret kemarin. Pentagon mengatakan bahwa pemerintah sudah menghabis dana sebesar 550 juta USD untuk perang di Libya, atau rata-rata sebulan mengeluarkan biaya 40 juta USD.
Jika pegeluaran itu tetap membengkak sampai batas akhir periode perpanjangan waktu yang ditetapkan NATO, Departemen Pertahanan AS membutuhkan biaya ekstra sekitar 274 juta USD untuk membiayai operasi serangan udara, pengisian bahan bakar dan misi intelijen di Libya. Pengeluaran ekstra berarti tekanan terhadap anggaran Dephan AS, yang belakangan ini sudah terancam dipangkas oleh Kongres karena anggara negara yang terus defisit.
Penambahan biaya juga berarti tekanan terhadap pemerintah AS agar membatasi jangka waktu misi perangnya di Libya. Pekan lalu, Dewan Perwakilan Rakyat AS menyetujui resolusi yang meminta Presiden Obama menjelaskan tentang keterlibatan AS dalam konflik dalam negeri Libya.
Meski keterlibatan AS dalam konflik di Libya berada di bawah naungan NATO, militer AS memberikan kontribusi paling besar dalam operasi "Unified Protector" di Libya. Sampai pertengahan bulan Mei, militer AS melakukan hampir 70 persen dari seluruh misi pengintaian, lebih dari 75 persen dari seluruh pengisian bahan bakar pesawat tempur dan 27 persen dari seluruh operasi serangan dadakan di Libya.
Dalam perang di Libya, AS mengerahkan 75 pesawat tempurnya, termasuk pesawat tanpa awak. Sejak terlibat dalam misi ke Libya dan sejak akhir Maret, pasukan udara AS sudah melakukan 2.600 serangan dadakan dengan pesawat tempurnya dan 600 serangan tempur. Jika dibutuhkan, militer AS bahkan tinggal mengontak kapal-kapal perangnya yang sudah siaga di kawasan Mediterania.
Lanjutkan Perang atau Malu
Persoalan membengkaknya biaya perang di Libya, membuat posisi AS ibarat buah simalakama. Melanjutkan perang, berarti AS harus siap menghadapi defisit anggaran yang lebih besar, yang akan memicu krisis anggaran negara. Menghentikan perang, berarti AS lagi-lagi harus siap malu, karena dipecundangi Gaddafi.
Kebingungan AS dalam konflik Libya tersirat dari pernyataan para petinggi militer negeri itu. Kepala Staf Gabungan Laksamana Michael Mullen menyatakan bahwa perang Libya akan berlanjut sampai pemimpin Libya Moammar Gaddafi tumbang dari kursi kekuasaannya. Namun Mullen mengaku tidak bisa menentukan kapan hal itu bakal terjadi.
"Sikap AS adalah, Gaddafi harus turun dari kekuasaannya dan ini merupakan sebuah tantangan bagi siapa pun untuk menentukan kapan hal itu akan terjadi," kata Mullen.
Sebelumnya, para menteri pertahanan NATO mengeluarkan pernyataan akan melanjutkan perang "sepanjang diperlukan." Menteri Pertahanan Inggris William Haque pekan kemarin mengatakan, perang di Libya harus sudah berakhir "setelah Natal". Ia mengakui, perang di Libya lebih berat dari yang dipekirakan.
Menteri Pertahanan AS Robert Gates juga tidak mampu memprediksi kapan bisa menumbangkan rezim Gaddafi. Ia hanya mengatakan, "Kami akan tetap terlibat dalam perang ini bersama aliansi kami, sampai urusannya selesai."
AS tak bisa lagi berkelit bahwa mereka "megap-megap" dalam perang melawan rezim Gaddafi di Libya, meski perang itu dilakukan "keroyokan" bersama pasukan NATO. Apa boleh buat, ratusan juta dollar sudah terbuang sia-sia untuk sebuah perang yang nampaknya hanya akan membuat keuangan negara AS tambah terpuruk, belum lagi beban menanggung malu karena butuh waktu berbulan-bulan bagi pasukan "keroyokan" itu untuk menumbangkan rezim di Libya. (ln/berbagai sumber)