Amnesty International (AI) dalam laporannya menyatakan bahwa rakyat Afghanistan masih menghadapi berbagai ancaman antara lain, serangan bunuh diri, penculikan bahkan pemenggalan kepala.
Menurut AI, serangan terhadap warga sipil makin meluas dan dilakukan secara sistematis oleh kelompok Taliban, untuk menimbulkan ketakutan di kalangan masyarakat. Untuk itu AI menuding Taliban telah melakukann "kejahatan perang" dan "kejahatan terhadap kemanusiaan. "
Dalam laporannya AI menyebutkan, antara bulan Januari 2005 dan Maret 2007, yang menjadi target serangan kelompok Taliban bukan hanya para kandidat pemilu, ulama, pejabat pemerintah, guru dan pekerja medis saja, tapi juga aktivis hak asasi manusia.
"Taliban telah menjadikan rakyat sipil sebagai musuh, " tulis AI.
Lebih lanjut AI mengungkapkan, antara tahun 2005-2006, Taliban telah membakar sedikitnya 183 sekolah di Afghanistan dan warga sipil yang menjadi korban, biasanya karena dianggap sebagai "mata-mata" atau "kolaborator" oleh Taliban.
AI mengungkap insiden yang dinilainya brutal, yang terjadi pekan lalu. Insiden itu menimpa seorang wartawan Afghanistan yang dilaporkan dibunuh oleh Taliban, dengan cara dilukai bagian lehernya.
Wartawan itu bernama Ajmal Naqshbandi, 25 tahun. Ia ditawan sejak bulan Maret bersama dengan reporter Italia Daniele Mastrogiacomo serta sopir mereka yang juga warga Afghanistan, Sayed Agha. Daniele dibebaskan lewat cara pertukaran tahanan, sedangkan Ajmal dan Sayed Agha dibunuh.
AI menyatakan, aturan militer yang berlaku di Taliban, yang disebut Laheya, secara eksplisit membolehkan sanksi pembunhan dengan target warga sipil. Aturan nomor 25 misalnya, menyatakan bahwa seorang guru yang masih berani mengajar hal-hal yang dianggap "bertentangan dengan Islam", setelah diperingatkan oleh Taliban, harus dipukul. Dan jika setelah itu mereka masih terus mengajar, maka guru bersangkutan harus dibunuh.
Selain itu, Taliban juga mengeluarkan "fatwa" sendiri yang bisa menyatakan siapa saja yang mendukung invasi AS, harus mati.
AI mengungkapkan salah satu "tradisi" Taliban sebelum melakukan serangan atau pembakaran. Mereka, kata AI, biasanya sudah mengeluarkan ancaman dalam bentuk "surat malam"-karena disebarkan pada malam hari-yang mereka tempel di pohon-pohon, masjid-masjid dan sekolah-sekolah.
Akibatnya, saat ini banyak orang tua di Afghanistan yang enggan menyekolahkan anak-anaknya. "Para orang tua di berbagai wilayah, sekarang ini banyak yang tidak mau menyekolahkan anak-anaknya. Iklim ketakutan juga sudah merongrong hak mendapatkan pendidikan ribuan anak Afghanistan, khususnya anak-anak perempuan, " demikian laporan AI.
AI menambahkan, "Sikap mental Taliban terhadap warga sipil sudah bergeser jauh dari kewajiban yang ditetapkan dalam hukum internasional yang secara jelas melarang kelompok bersenjata menyerang warga sipil. "
Terkait hal ini, juru bicara Taliban yang sempat diwawancarai AI mengatakan, "Tidak ada perbedaan antara orang-orang bersenjata yang memerangi kami dan warga sipil yang bekerja sama dengan orang-orang asing. "
Direktur senior bidang riset AI Claudio Cordone mengatakan, warga sipil Afghanistan terjebak dalam peperangan antara Taliban, pasukan pemerintah Afghanistan, pasukan AS dan pasukan dari negara-negara NATO.
"Tapi, Taliban yang sudah dengan sengaja menerapkan kebijakan menargetkan warga sipil. Mereka membunuh guru-guru, menculik pekerja bantuan kemanusiaan dan membakar sekolah, " ujarnya. (ln/bbc)