Amnesty Internasional (AI) dalam laporannya yang dirilis Rabu (3/5) menilai Amerika Serikat sebagai negara yang telah banyak merusak kerangka hukum internasional tentang hak asasi manusia, dengan melakukan prosedur-prosedur penjatuhan sangsi yang mengarah pada penyiksaan terhadap para tahanan baik di AS maupun di penjara-penjara AS di seluruh dunia.
"Pemerintah AS bukan hanya sudah gagal mengambil langkah untuk menghapus penyiksaan, tapi sudah menimbulkan iklim di mana penyiksaan dan tindakan sewenang-wenang bisa makin meluas, termasuk dengan cara upaya AS mempersempit definisi penyiksaan," kata Curt Goering, Deputi Senior Direktur Eksekutif Amnesty Internasional di AS.
"Meskipun pemerintah AS terus melontarkan kecamannya terhadap tindak penganiayaan dan tindakan yang sewenang-wenang, pernyataan mereka bertentangan dengan apa yang mereka lakukan di lapangan," sambung Goering.
Laporan AI tersebut sudah dikirim ke Komite PBB Anti Penyiksaan untuk diteliti sejauh mana AS sudah melakukan pelanggaran terhadap konvensi internasional anti penyiksaan dan kekezaman lainnya, melakukan tindakan atau hukuman yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia.
Komite PBB yang anggotanya terdiri dari para ahli itu melakukan kajian secara periodik terhadap negara-negara yang ikut menandatangani konvensi tersebut, dan untuk AS rencananya akan dilakukan pada hari Jumat (5/5) besok. Kajian terhadap pelanggaran HAM AS dilakukan pada tahun 2000 lalu.
Laporan AI sepanjang 47 halaman menyebutkan bahwa penganiayaan ‘mejalela’ di penjara-penajara milik AS yang ada di Irak, Afghanistan, Guantanamo dan di beberapa tempat lainnya.
"Bukti-bukti atas makin meluasnya penyiksaan dan tindakan kejam lainnya, serta perlakuan yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia terhadap para tahanan yang ada di penajara-penajara AS, terus bermunculan," demikian bunyi laporan itu, yang juga mencantumkan kasus-kasus tahanan yang tewas di penjara-penjara AS di Irak dan Afghanistan akibat penyiksaan.
Laporan AI juga menyebutkan, terkait dengan maraknya pelanggaran HAM yang dilakukan AS tidak ada satupun agen-agen AS yang dituntut atas tindak kekezaman dan kejahatan perang.
"Hukuman terberat yang dijatuhkan pada orang yang terlibat dalam kasus tewasnya tahanan akibat penyiksaan di penjara AS, cuma lima bulan-sama dengan hukuman yang mungkin anda terima di AS jika ketahuan mencuri sepeda," kata Goering.
"Dalam kasus ini, hukuman lima bulan diberikan pada pelaku yang telah menyiksa seorang sopir taxi berusia 22 tahun, yang kepalanya ditutup dan dirantai ke atas atap sambil ditendangi dan dipukuli hingga tewas," sambug Goering.
Belum lagi kasus-kasus lainnya, seperti penganiayaan terhadap para tahanan Irak di penjara Abu Ghraib yang sempat ditayangkan oleh televisi Australia beberapa waktu lalu, foto-foto dan video yang memperlihatkan kondisi para tahanan, beberapa di antara dalam keadaan berdarah-darah, kepalanya ditutup, diikat ke tempat tidur atau pintu dengan penjaga AS yang tersenyum-senyum di samping para tahanan yang disiksa itu.
Komite Palang Merah Internasional (ICRC) bahkan menyebut gambar-gambar itu sangat mengerikan dan merupakan bukti yang jelas atas pelanggaran hukum internasional tentang kemanusiaan.
Dalam laporannya, AI menjelaskan bahwa langkah-langkah yang dilakukan AS dalam merespon kasus-kasus penyiksaan di penjara-penjara yang dikelolanya atas dasar apa yang mereka sebut perang terhadap terorisme, masih sangat jauh dari cukup.
"Ketika pemerintah AS terus-menerus mengklaim bahwa penyiksaan terhadap para tahanan di penjara-penjaranya terutama dilakukan oleh segelintir prajuritnya yang menyimpang, ada bukti yang nyata yang mengatakan sebaliknya," kata Javier Zuniga, Direktor AI untuk program AS.
Ia mengungkapkan, kebanyakan penyiksaan dan dan tindakan sewenang-wenang dilakukan secara langsung berdasarkan prosedur sangsi dan kebijakan yang resmi, termasuk teknik interogasi yang disetujui langsung oleh Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld.
Beberapa surat kabar AS sudah banyak yang menurunkan laporan tentang keterlibatan Rumsfeld dan mantan komandan AS di Irak, Letnan Jenderal Ricardo Sanchez yang memberikan wewenang dan kebebasan pada para tentara AS yang bertugas di Abu Ghraib untuk mengadopsi beragam taktik penyiksaan dan penganiyaan yang digunakan di kamp penjara Guantanamo.
"AS sudah lama melakukan pendekatan yang selektif atas standar-standar yang berlaku secara internasional, tapi beberapa tahun belakangan ini, pemerintah AS telah mengambil langkah-langkah yang belum pernah dilakukan sebelumnya untuk mengabaikan kewajibannya terhadap kesepakatan-kesepakatan internasional," papar Zuniga.
"Ini merupakan ancaman yang bisa merusak seluruh kerangka hukum hak asasi internasional-termasuk konsensus larangan keras terhadap penyiksaan dan kekezaman lainnya, hukuman dan tindakan yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia," tegas Zuniga. (ln/iol)