Tujuh bulan setelah berakhirnya agresi Israel ke Libanon, ratusan ribu warga Libanon selatan masih mengalami persoalan air bersih. Bombardir tentara Israel ke wilayah itu, telah merusak sistem sanitasi dan air bersih di kawasan itu.
Israel merusak bak-bak penampung, pipa dan mata air dengan alasan menghancurkan infrastruktur milik teroris.
Menurut WESH (Water, Environment, Sanitation and Hygiene), badan PBB yang melakukan sejumlah proyek perbaikan di Libanon Selatan, hanya 56 persen warga Libanon yang terhubung dengan sumber-sumber air utama. Di daerah pedalaman, penyedian air bersih bahkan kadang hanya tersedia satu kali dalam seminggu.
WESH menyebutkan, satu dari tiga warga Libanon harus membeli air bersih untuk minum. Sementara tingkat kebocoran air bersih dari pipa-pipa air mencapai 50 persen, menyebabkan persediaan air berkurang 40 persen dalam setahun dan harus dipenuhi oleh mobil-mobil pengangkut air.
Menurut pejabat senior program WESH dari kantor UNICEF Beirut, Muhammad Bendrissi Alami, sumber air tanah di Libanon cukup baik, tapi budaya masyarakatnya yang sering menggunakan air secara berlebihan.
"Masyarakat berpikir punya persediaan air cukup, sehingga mereka tidak peduli. Masalahnya adalah soal manajemen, kualitas dan persediaan air, bukan sumber airnya. Tidak ada perhatian terhadap sektor ini dan kebutuhan air masyarakat belum terpenuhi, " ujar Alami seperti dikutip situs IRIN, situs berita dan analisa kantor bantuan kemanusiaan PBB.
WESH membantu pembangunan kembali sekitar 12 tangki dan pipa-pipa air serta menyediakan 12 generator agar pompa-pompa air bisa tetap bekerja saat aliran listrik mati.
Di kota Khiyam misalnya, WESH menyediakan dana sekitar 9 juta dollar untuk memperbaiki tangki-tangki air yang mampu menampung seribu meter kubik air yang rusak akibat bombardir Israel. Perusahaan konstruksi Hizbullah, Jihad al-Bina iku membantu perbaikan jaringan pipa air di Khiyam.
Namun para tokoh pemimpin di Khiyam mengatakan, masalah kekurangan air akan tetap berlanjut dan mereka menyalahkan pemerintah pusat yang selama bertahun-tahun mengabaikan masalah ini.
"Kami kekurangan air sekarang dan pada musim panas populasi penduduk kota meningkat dua kali lipat. Kami tidak mendapat apapun dari Beirut. Kami sudah biasa mengalami hal ini, " kata Ahmad Hassan, seorang tokoh masyarakat setempat.
Ia menyambung, "Kami butuh pompa-pompa dan sumur-sumur baru, tapi tidak ada upaya ke arah itu. Dalam hal ini, kami butuh pemerintahan yang efisien. "
Sulitnya air bersih berdampak pada kondisi sanitasi yang tidak memadai. Muhammad Bendrissi Alami dari WESH mengatakan, sanitasi dengan cepat menjadi persoalan yang sangat serius bagi warga Libanon, terutama yang tinggal di wilayah selatan.
"Masyarakat membangun rumah yang terlalu dekat dengan mata air atau membuat septic tank yang terlalu dekat dengan sumur, akibatnya sumber air bersih terkontaminasi kotoran manusia dan menimbulkan beragam penyakit seperti hepatitis dan diare, " jelasnya.
Sistem pengairan di Libanon 70 persennya tidak dilengkapi dengan sistem pembuangan yang memadai. Kebanyakan pembuangan air diarahkan ke sungai-sungai, yang menyebabkan polusi air.
Untuk meningkatkan kualitas air bersih di selatan Libanon, sampai akhir Maret mendatang WESH akan membantu pemasangan 29 sistem gas klorin dan Bank Dunia serta Uni Eropa akan membantu pembangunan 12 tempat sistem buangan air di seluruh Libanon. (ln/arabworldnews)