Perbincangan dan pernyataan seputar sikap Gerakan Perlawanan Islam Hamas terhadap perundingan dengan Israel terus bertiup di tengah-tengah krisis yang melanda pemeritahan yang dipimpin gerakan ini.
Sumber-sumber media menyebutkan, Hamas telah memiliki kesiapan untuk berunding dengan Israel dengan sejumlah persyaratan.
Kapala Biro Politik Hamas Khaled Misy’al-telah mengisyaratkan kesiapan gerakannya untuk perundingan ini apabila dipastikan Israel memberikan sesuai yang nyata dan real bagi Palestina. Hal tersebut ditegaskan Misy’al-dalam wawancara dengan harian Italia dan dikutip oleh harian Israel Ma’arev, Jum’at (28/4).
Begitu penting dan sensitifnya persoalan ini, maka para pemimpin politik dan militer Hamas yang di penjara menegaskan pentingnya melakukan langkah-langkah perundingan apabila ada kesungguhan dari Israel untuk menghasilkan komitmen dan pengakuan terhadap hak-hak sah bangsa Palestina.
Para pemimpin Hamas dalam pernyataan khusus kepada aljazeera mengatakan bahwa Hamas, apabila hak-hak bangsa Palestina diberikan maka pihaknya siap memberikan gencatan jangka panjang guna merealisasikan keamanan dan kedamaian semua pihak.
Muhamad Jamal Netsha, anggota pimpinan politik gerakan Hamas dan sekaligus wakil tahanan Palestina – divonis hukuman 8 tahun 6 bulan penjara – menegaskan bahwa Hamas tidak memiliki hambatan untuk melakukan perundingan dengan pihak manapun baik dengan Amerika, Eropa bahkan dengan Israel sekalipun. Asalkan perundingan tersebut dalam koridor prinsip-prinsip yang tidak mengabaikan hak bangsa Palestina.
Netsha menjelaskan, yang menghalangi Hamas untuk melakukan inisiatif langkah-langkah perundingan dengan Israel adalah tidak adanya kemauan dari pihak Israel untuk menunjukan kesiapannya mengakui hak-hak tetap bangsa Palestina. Dari awal Israel telah mendeklarasikan bahwa al-Quds Raya (Timur dan Barat) adalah hak orang Israel dan tidak akan melepaskannya, bahwa permukiman-permukiman Yahudi di tanah Palestina tidak mungkin lagi, di samping itu, Israel tidak mengakui hak kembali pengungsi Palestina.
Untuk itu, Hamas melihat tidak ada gunanya menyatakan kesiapannya melakukan perundingan dengan Israel dan tidak ada faedahnya mengumumkan inisiatif-inisiatif perdamaian, baik secara bertahap ataupun secara final.
Sementara itu Syaikh Adil Ishnaiwer, orang dekat Hamas yang dipenjara Israel sejak 4 tahun lalu beranggapan, apabila Hamas diberi kejelasan tentang penarikan dari tanah Palestina, pembebasan tahanan dan supremasi hukum, maka tidak ada halangan bagi Hamas untuk melakukan perundingan dengan Israel tanpa syarat, agar Hamas melakukan gencatan senjata dengan tetap mempertahankan hak perlawanan demi membela diri dan membalas serangan.
Namun Amar Daraghema, mantan komandan sayap militer Brigade al-Qassam asal Jenin yang divonis hukuman penjara selama 6 tahun, menolak perundingan semacam ini untuk saat sekarang. Terlebih dia merasa bahwa Israel tengah melakukan langkah-langkah sepihak di Tepi Barat, di samping pernyataan-pernyataan PM Israel Ehud Olmert yang menegaskan tidak menerima pemerintahan Palestina yang dipimpin Hamas.
Menurut Daraghema, adalah salah untuk saat sekarang ini apabila Hamas mengajukan diri kepada Israel. Terutama karena iklim yang ada tidak mendukung untuk melakukan perundingan itu. Daraghema mengatakan, seyogianya Hamas mencukupkan diri dalam masalah ini dan menyerahkan masalah ini kepada pihak-pihak Arab atau PLO untuk melakukannya.
Perundingan Sebuah Keniscayaan
Dr. Isa Tsawabita, seorang dokter ahli bedah asal Bethlehem dan kini menjadi tahanan administratif Israel, menganggap bahwa perundingan harus dilakukan Hamas demi merealisasikan kepentingan dan kemaslahatan bangsa Palestina. Menurutnya, kemaslahatan ini tidak bisa direalisasikan kecuali dengan perundingan. Dia melihat perlu dimulai perundingan ini secara rahasia melalui jalan pihak ketiga guna mengetahui apa yang akan diajukan Israel untuk bangsa Palestina.
Dr. Tsawabita menambahkan, apabila orang-orang Palestina telah mendapatkan hak-hak mereka, pembebasan tanah mereka dan mendirikan negara merdeka maka tidak ada halangan bagi Palestina untuk mengajukan gencatan senjata selama 15 tahun kepada Israel, guna menjaga keamanan dan stabilitas mereka.
Dosen di Universitas Terbuka al-Quds ini menegaskan, perundingan adalah kemaslahatan dan kepentingan bersama Palestina dan Israel. Tidak masuk akal apabila perundingan ini tidak menghasilkan apa-apa bagi orang Palestina untuk mendapatkan hak-hak mereka yang sah serta penarikan Israel sampai perbatasan wilayah 4 Juni 1967, sebagai kompensasi keamanan dan kedamaian bagi orang-orang Israel sebagai bagian dari gencatan senjata yang legal.
Sementara itu tahanan Palestina dari Ramallah, Mahmud Abu al-Rab – tokoh Hamas yang dipenjara Israel sejak 4 tahun lalu dan pernah mendekam dalam penjara otoritas Palestina – menganggap bahwa perundingan dengan Israel harus dilakukan demi mempermudah kehidupan sehari-hari orang Palestina, di samping pembebasan para tahanan Palestina, pembongkaran perlintasan-perlintasan militer Israel (check point) dan tembok pemisah rasial, serta kebebasan bergerak orang Palestina antara Tepi Barat, Jalur Gaza dan al-Quds sebagai konpensasi gencatan senjata sementara untuk orang-orang Israel.
Pernyataan para tokoh (tahanan) Hamas ini disampaikan setelah melihat bahwa Hamas telah melakukan gencatan selama satu setengah tahun sementara Israel tidak menunjukan kesiapan apapun untuk menghentikan permusuhannya yang secara kontinyu mereka lakukan terhadap bangsa dan rakyat Palestina. Namun kebanyakan dari mereka mengingatkan bahaya pemboikotan terhadap bangsa Palestina sehingga tidak bisa mendapatkan kebutuhan hidup mereka. Bahwa hal ini bisa menimbulkan ledakan yang berkembang menjadi intifadhah baru. Bukan itu saja, mungkin akan berubah menjadi revolusi dahsyat.
Yang tersisa kemudian tinggalah pertanyaan, apakah Hamas akan memulai dari apa yang telah dilakukan Fatah? Ataukah Hamas memiliki agenda baru dan cara lain untuk melakukan perundingan tanpa harus mengabaikan hak-hak prinsip bangsa Palestina? (was/aljzr)