Agenda Tersembunyi di Balik Pembukaan Kembali Hubungan Diplomatik AS-Libya

AS melalui Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice menyatakan akan menghapus Libya dari daftar hitam negara-negara yang mendanai terorisme versi AS dan akan menjalin kembali hubungan diplomatik dengan negara itu. Rice menilai kerjasama Libya dalam pemberantasan terorisme sangat ‘memuaskan.’

Pengumuman itu disampaikan Rice pada Senin (15/5) dan menjadi titik kulminasi dari proses yang sudah berlangsung sejak tahun 2003 ketika pemimpin Libya Kolonel Muammar Qadhafi menyatakan setuju untuk membongkar program senjata pemusnah massal negaranya. Keputusan Qadhafi ini cukup mengejutkan masyarakat dunia saat itu. Sebelumnya, AS tidak memiliki hubungan diplomatik secara formal dengan Libya sejak tahun 1980.

Menyusul kesediaan Qadhafi itu, Libya dengan suka rela menyerahkan komponen-komponen atomnya dan semua berkas tentang program nuklirnya pada AS pada tahun 2004. Semua komponen itu dipindahkan ke sebuah instalasi milik AS. Sebagai kompensasinya, AS menghapus embargo dan traffic warning terhadap Libya yang sudah diterapkan selama hampir 18 tahun.

Mengomentari pengumuman AS itu, Menlu Libya Abdurrahman Shalgam mengatakan bahwa keputusan tersebut akan membuka bab baru hubungan kedua negara. Menurutnya, itu semua tercapai sebagai hasil dari kontak-kontak dan negosiasi atas dasar kepentingan, kesepakatan dan pemahaman bersama antara AS dan Libya.

Selama bertahun-tahun, perekonomian Libya terpukul akibat sangsi yang dijatuhkan ke negara itu. Padahal Libya sangat membutuhkan investasi asing untuk membangun sektor industri energinya. Di sisi lain, AS yang sedang mengalami krisis energi, berkeinginan untuk melakukan diversifikasi sumber-sumber energinya dan mengincar Libya sebagai negara yang memiliki sumber minyak besar. Ada dugaan bahwa AS memulihkan hubungan diplomatik dengan Libya untuk mempengaruhi turunnya harga minyak dunia.

Ditanya apakah keputusan AS itu adalah insentif atas kerjasama yang ditunjukkan Libya selama ini pada AS, Shalgam menjawab,"Dalam politik tidak ada upah semacam itu yang ada adalah kepentingan kedua belah pihak."

Namun untuk benar-benar mendapatkan ‘keistimewaan’ dari AS itu akan dilakukan uji coba selama 45 hari, sekaligus untuk mengetahui bagaimanan opini publik tentang hal ini.

Kepala kantor penghubung negara Libya di Washington, Ali Aujali menyatakan, pemulihan hubungan diplomatik dengan AS, hanya akan menguntungkan perusahaan-perusahaan minyak AS. "Sekarang, saya berfikir bahwa mereka akan bersaing dengan perusahaan-perusahaan lain dan mereka bisa melanjutkan proyek-proyek mereka di Libya," katanya.

Juru bicara Libyan National Congress- kelompok oposisi Libya-Fayes Jibril yang kini berada dipengasingan, menyayangkan pemulihan hubungan dengan AS. "Ini tidak akan membantu rakyat Libya yang sedang membutuhkan bantuan internasional untuk mendapatkan hak-haknya," ujar Jibril.

"Kolonel Qadhafi akan memanfaatkan hubungan ini untuk memperketat pengawasan pada rakyat Libya yang menginginkan hal-hal yang sederhana seperti kebebasan berekspresi dan kebebasan untuk memiliki konstitusi," sambung Jibril yang kini menetap di Mesir.

Terkait dengan keinginan AS memulihkan hubungan diplomatik dengan AS, Rice mengatakan hal yang sama juga bisa terjadi dengan Iran dan Korea Utara, kalau kedua negara itu juga mau membuka kerjasama dengan AS. (ln/aljz)