Presiden Palestina Mahmud Abbas, Sabtu (10/06) telah mengumumkan jadwal pelaksanaan referendum pada 26 Juli 2006 mendatang. Menanggapi keputusan Abbas, Hamas menegaskan pihaknya akan melakukan perlawanan dengan cara apapun secara damai dan sesuai konstitusi. Menurut Hamas, dialog dan referendum tidak bisa bertemu.
“Dialog dan referendum tidak mungkin bisa bertemu, hanya ada satu pilihan antara dialog atau referendum. Untuk pilihan yang terakhir bagi Hamas jelas sangat tertolak karena tidak memiliki dasar hukum dan legalitas,” ungkap tokoh politik Hamas Adnan Ashfur.
Hamas mengecam dikeluarkannya keputusan jadwal pelaksanaan referendum ini di tengah-tengah pembantaian yang dilakukan penjajah Zionis Israel terhadap rakyat Palestina yang tidak berdosa. Hamas menegaskan bahwa pelaksanaan referendum ini bertujuan untuk menghancurkan prinsip-prinsip nasional Palestina dan pengakuan terhadap Zionis Israel di atas tanah Palestina. Referendum ini juga bertujuan untuk membatalkan legalitas pemerintahan Palestina yang dimenangkan Hamas secara demokratis dalam pemilu 25 Januari 2005 lalu.
Menurut Hamas, apabila referendum dilakukan saat ini maka kondisinya sama dengan kondisi orang yang harus tunduk kepada interogasi yang dilakukan pihak intelijen. Perut dibuat lapar, tidak diberi makan dan minum sehingga memudahkan upaya untuk mengorek pengakuan di bawah ancaman, penyiksaan dan pembunuhan. Begitulah kondisi rakyat Palestina saat ini, hari-hari mereka dalam kondisi perut lapar, dalam ancaman terror dan mengalami penyiksaan agar mangkui eksistensi penjajah Zionis Israel di tanah Palestina.
Perlawanan di Parlemen
Hamas bertekad akan melakukan perlawanan untuk membatalkan referendum tentang “manifesto tahanan” yang intinya adalah pengakuan terhadap entitas Zionis Israel ini. Hamas akan menggunakan segala cara secara damai dan sesuai konstitusi. Dijadwalkan pada Senin (12/06) anggota Hamas di parlemen akan mengajukan proposal penolakan referendum berdasarkan konstitusi.
“Keputusan Abbas tidak memiliki dasar hukum dan undang-undang saat mengumumkan pelaksaaan referendum ini,” ungkap Dr. Khalil Abu Laila, tokoh politik Hamas yang lain. Menurutnya, ini sangat berbahaya bila pejabat tertinggi Negara melakukan tindakan yang tidak memiliki landasan hukum.
Ketua fraksi Hamas di parlemen di Tepi Barat, Yasir Mansyur mengatakan, sejumlah anggota dewan telah menandatangani permintaan kepada ketua dewan legislatif untuk mengadakan sidang khusus dan secepatnya guna mendiskusikan sisi hukum dan legalitas pelaksanaan referendum.
“Para anggota dewan telah meminta diadakan sidang darurat guna mendiskusikan sejauh mana legalitas dan keabsahan keputusan Presiden Abbas untuk melakukan referendum atas manifesto tahanan,” kata Mansyur.
Yasir Mansyur menambahkan, “Pembicaraan dalam sidang mendatang akan terfokus kepada sandaran hukum dan legalitas referendum. Apabila keputusan presiden ini sesuai dengan undang-undang maka tidak ada masalah bagi dewan. Namun apabila sebaliknya, maka sudah semestinya dewan mengeluarkan keputusan yang menentang referendum ini.”
Para wakil Hamas di parlemen melihat bahwa Presiden Abbas tidak memiliki hak untuk menyerukan referendum karena tidak ada payung hukum yang mengatur pelaksanaan seperti ini. Sedang wakil Fatah di parlemen melihat bahwa tidak adanya teks dalam undang-undang yang mengatur masalah referendum, artinya mungkin untuk dilaksanakan. Langkah Hamas ini didukung oleh gerakan Jihad Islam dan lima faksi Palestina lainnya. Faksi-faksi Palestina melihat, pelaksanaan referendum secara otomatis mengakui eksistensi negara penjajah Zionis Israel di atas tanah Palestina. (was/pic-iol)