3 Oktober, Mengenang Musthafa As-Siba’i: Dakwah adalah Karakternya

Dari Suriah untuk dunia

As-Siba’i lahir di Himsh, Suriah, tahun 1915. Keluarganya terpandang sebagai keluarga ilmuwan. Ayah dan kakeknya penanggung jawab khutbah di masjid Jami’ di Himsh, dari generasi ke generasi.

Ketika As-Siba’i bermaksud melamar seorang gadis nih, keluarga yang mengantarkan As-Siba’i ke rumah sang gadis mengatakan jika As-Siba’i sibuk mengurus dakwah Islam, jadi kemungkinan waktu luangnya sedikit untuk keluarga; apakah dengan kondisi seperti itu keluarga sang gadis akan tetap menerimanya? Tak tahunya pihak calon mempelai wanita setuju.

Waktu umurnya baru enam belas tahun, As-Siba’I sudah terlibat dalam melawan Prancis yang waktu itu tengah “mampir” di Suriah. Gara-gara memimpin demo, dan membagi-bagikan selebaran-selebaran, ia ditangkap pada tahun 1931 oleh Prancis. Setelah dibebaskan, ia kembali ditangkap gara-gara pidato-pidatonya yang dapat membakar dan mengobarkan semangat massa buat melawan Prancis.

Tahun 1933, Musthafa As-Siba’i pergi ke Mesir, menimba ilmu di Al-Azhar. Waktu kuliah inilah, As-Siba’i berkenalan dengan Hasan Al-Banna dan gerakan Ikhwan. As-Siba’i ikut ambil bagian mendirikan cabang Ikhwan di Suriah. Tahun 1945, As-Siba’i dipilih sebagai Muraqib ‘Am Ikhwanul Muslimin Suriah (seperti kepala cabang).

Kenangan Bersama Imam Syahid Hasan Al-Bana

Pernah, ada kejadian yang menarik antara Imam Hasan Al-Banna dan As-Siba’i. Ikhwan mempunyai sebuat surat kabar, namanya Al-Ikhwanul Muslimun, dan suatu kali surat kabar itu memuat foto Hasan Al-Banna dan Musthafa As-Siba’i, dengan komentar di bawah foto itu, “Panglima dan Tentara”. Langsung saja Imam Hasan Al-Banna menulis surat buat pemrednya, komplain soal tulisan itu.

Imam Al-Banna mengatakan, “Jika yang Anda maksud dengan kata panglima ialah Ustadz Musthafa As-Siba’i dan kata tentara ialah hamba Allah yang lemah ini yang setiap hari dan saat menganggap dirinya tentara dakwah kebenaran yang paling kecil, maka berarti Anda memberi predikat sangat baik dan terima kasih saya sampaikan kepada Anda.

Jika yang Anda maksud ialah makna yang cepat tertangkap di benak ketika pertama kali membacanya dan mengetahui posisi Mursyid dan Muraqib, maka saya berlindung diri kepada Allah dari apa yang Anda lakukan dan minta maaf kepada Ikhwan atas apa yang Anda tulis. Saya berharap permainan jurnalistik seperti ini tidak menjerumuskan Anda pada ketidaktenteraman jiwa.

Saya memohon kepada Allah semoga memberi taufik kepada kita menuju kebaikan, meluruskan langkah kita menuju apa saja yang mengundang kecintaan dan keridhaan-Nya, serta menyatukan hati untuk memperjuangkan kebaikan bagi tanah air tercinta ini.” Itu adalah hal yang tak bisa dilupakan siapapun ketika itu, termasuk As-Siba’i.

Tahun 1944, As-Siba’i pergi menunaikan haji untuk yang pertama kalinya. Tahun 1947, ia menerbitkan surat kabar Al-Manar, walaupun dibredel oleh Husni Az-Zaim. Tahun yang sama, ia mendapat gelar doktoral dalam perundang-undangan Islam dan sejarahnya, disertasinya berjudul As-Sunnah wa Makanatuha fit Tasyri’ Al-Islami.

Sumbangsihnya untuk Islam

Di tahun 1948, As-Siba’I kembali ke Suriah. Beliau dan anggota-anggota Ikhwan lain mencoba memasukkan materi tarbiyah di kurikulum pendidikan. Beliau pun mencoba membuka Fakultas Syariah di Universitas Syariah tahun 1955 dan jadi dekannya untuk pertama kali.

Mulailah As-Siba’i merintis penyusunan ensiklopedia Fiqih Islam yang meliabtkan ulama dari penjuru dunia Islam untuk menyajikan Fiqih  Islam dengan format baru, sunnah, fiqih ulama salaf, dan ijtihad ulama kontemporer.

Tahun 1949, As-Siba’i terpilih jadi wakil kota Damaskus, padahal dia orang Himsh. Setahun kemudian, ia dinobatkan menjadi guru besar Fakultas Hukum Universitas Suriah.

Siba’i juga menuntut kepada pemerintah Suriah agar mengizinkan ia dan Ikhwan berpartisipasi dalam perang di Mesir yang tengah melawan Inggris di Terusan Suez. Tentu saja, pemerintah Suriah langsung menangkap Musthafa As-Siba’i seterusnya membubarkan Ikhwanul Muslimin Suriah. Belum lagi perintah pemecatan As-Siba’i dari Universitas Suriah dan terus dideportasi ke Libanon.

Tahun 1953, dalam muktamar umum Islam di Al-Quds, As-Siba’i jadi wakil dari Suriah. Tahun 1954, As-Siba’i hadir di muktamar Islam-Kristen di kota Handun, Libanon, tujuannya buat meng-counter musuh-musuh Islam dari kalangan orientalis dan orang-orang Kristen.

Sampai tahun 1957, As-Siba’i banyak melakukan perjalanan ke negara-negara Eropa, dari Italia, Inggris, Irlandia, Belgia, Belanda, Denmark, Norwegia, Swedia, Polandia, Jerman, Swiss, Prancis, dan Rusia untuk melihat kurikulum studi Islam di negara-negara tersebut. Di sinilah, As-Siba’i menyingkap habis kesalahan-kesalahan kaum orientalis, baik secara ilmiah atau historis.

Semakin tua semakin produktif

Di tahun yang sama, As-Siba’i sudah mulai sakit-sakitan. Uniknya, justru di masa-masa sakit ini, As-Siba’i malah produktif. Sehari sebelum wafat ia menulis tiga buku yaitu Al-Ulama’ Al-Auliya’, Al-Ulama’ Al-Mujahidun, dan Al-Ulama Asy-Syuhada’.

Tujuh tahun lamanya, Musthafa melewatkan hari-hari bersama penyakitnya, akhirnya hari Sabtu tanggal 3 Oktober 1964, ia meninggal dunia di kota Himsh. Jenazahnya diiringi rombongan besar orang dan disholatkan di Masjid Jami’ Al-Umawi, Damaskus.

Ada perkataan yang menarik dari Dr. Husni Huwaidi tentang kondisi As-Siba’i waktu sakit. “Saya melihatnya ketika sakit, bersandar pada tongkat, berjalan di pagi dan sore hari menuju masjid, pada saat orang-orang sehat dan kuat enggan pergi ke masjid. Betapa sedikitnya orang sakit dan lumpuh, namun ia lebih kuat dari pedang terhunus. Kelestariannya dalam jihad, betapapun ia lumpuh, menderita sakit jantung dan hipertensi, tidak lain dalil nyata dan hujjah jelas bahwa karakter orang ini ialah jihad dan tabiatnya perjuangan, nalurinya pengorbanan, fitrahnya keberanian dan patriotisme.

Bagaimana mungkin riya’ mendapatkan peluang menyusup ke hatinya, futur menemukan jalan mengusik jiwanya dan keraguan menemukan lorong merusak tekadnya? Maha suci Allah yang memberi karunia kepadanya lalu ia mensedekahkannya dan menimpakan ujian kepadanya lalu menjadikannya ridha pada ujian.” (sa/ind/khf)