Jabal Akrod, Suriah. Nafasnya tersengal-sengal. Edy pun terus melakukan baging (bantuan pernafasan). Sementara dr. Ibrahim terus membersihkan lalu menjahit luka di depan. Setelah selesai, tubuhnya dibalik. Ternyata ada luka menganga di punggung. “Ia mengalami ruptur organ inter abdomen,” kata dr. Hery menjelaskan kepada saya. Pecahan roket yang menembus perut telah merobek organ yang dilaluinya. Darah segar terus mengalir, hinga… 10 menit kemudian ia mengembuskan nafas terakhir.
Namanya Abdul Majid. Usianya baru 21 tahun. Pagi tadi, saat terjadi serangan roket, ia sedang berada di khalawat, semacam lapak pinggir jalan tempat orang berjualan. Ketika terdengar suara roket meluncur, ia dan beberapa orang lainnya berusaha berlindung. Mereka berada dalam satu jalan buntu yang sempit. Takdir Allah, roket meledak tepat di ujung jalan tersebut.
Abdul Majid adalah adik Ammar. Keduanya putra Abdur Rozzak—ia hanya memiliki dua putra. Ammar, sang kakak 3 pekan lalu meninggal, tepat di gerbang Rumah Sakit Lapangan. Ketika itu sebuah birmil (drum berisi TNT dan potongan besi dan benda tajam lainnya dijatuhkan dari pesawat) meledak di depan klinik. Ammar mencoba lari menghindar. Namun, sebuah potongan besi super panas menyambar kepala bagian belakangnya. Darah terciprat, Ammar pun menghadap Ilahi. Sampai sekarang, cipratan darah Ammar masih ada di tembok klinik.
Dr. Ibrahim punya kisah tersendiri tentang kematian Ammar. “Setelah meninggal, ia langsung kami kuburkan. Lima jam kemudian saya kembali ke bangsal tempat almarhum sebelumnya dibaringkan. Saat itu saya melihat darah menetes darah Ammar yang tersisa di bangsa, menetes. Padahal, darah biasanya langsung membeku tidak sampai 1 jam,” tutur dokter berkebangsaan Suriah itu.
Kematian Abdul Majid yang tak berselang lama dari Ammar, tentu menyiratkan duka bagi teman-temannya. Kholid, seorang perawat sempat melempar jarum suntik, tanda kecewa dan duka begitu Abdul Majid dipastikan meninggal. Hamdi, rekannya sesama perawat pun memeluk sambil menenangkannya. “Dia mendapat tempat yang lebih baik,” bisiknya.
Mata saya tertuju pada lelaki separoh baya yang meringkuk di samping jasad Abdul Majid. Setelah memastikan dia adalah Abdul Razzak, sang ayah saya mendekat. “Insya Allah, dia di jannah,” kata saya sambil mengelus pundaknya. Ia mengangguk dan menoleh memandang saya. Seketika saya pun dipeluknya. Dadanya membuncah oleh tangis yang dicoba ditahannya. “Kalian akan bertemu di surga, Insya Allah,” ucap saya lirih.
Abdur Razzak seorang bapak yang tabah. Demikian nilai seorang tetangganya. Ya, seperti kebanyakan rakyat Suriah, tangis mereka sekadar tanda rahmat, sebagaimana tangis Rasulullah ketika putranya, Ibrahim meninggal dunia. Tetapi dalam spirit perjuangan menuntut kebebasan berhukum dengan hukum Allah, darah syuhada yang mengalir hari ini adalah bahan bakar yang terus mengobarkan semangat jihad. “Sungguh, saya khawatir Basar Ashad akan lengser sebelum saya mendapatkan kesyahidan,” kata Faruq, karib Abdul Majid. [AY]