Sikap negara-negara Barat yang menolak mengakui kemenangan Hamas dalam pemilu di Palestina, dikritik oleh Alian Gresh, pemimpin redaksi majalah Le Monde, majalah diplomatik yang terbit di Perancis.
Menurut Gresh, penolakan Barat terhadap Hamas akan menjungkirbalikan upaya menegakkan demokrasi dan reformasi politik di Timur Tengah. "Keputusan Barat yang menentang kemenangan Hamas akan menjadi alasan bagi rejim-rejim di Arab untuk menarik diri dari upaya reformasi jika Barat tidak menghormati hasil-hasil proses demokratis di Palestina," katanya.
"Apa yang mereka maksud dengan demokrasi dan pemilihan umum, jika mereka menolak Hamas yang sudah terpilih secara demokratis," sambung Gresh.
Seperti diketahui dalam pemilu parlemen Palestina kemarin, Hamas menang telak dengan mendapatkan 73 kursi dari 123 kursi di parlemen. Atas kemenangan Hamas, AS dan Uni Eropa menyatakan mau menjalin hubungan dengan Hamas dengan syarat Hamas mengakui eksistensi Israel dan tidak melakukan aksi kekerasan. Kuartet yang memotori perjanjian damai Israel-Palestina, yaitu AS, Uni Eropa, Russia dan PBB mengancam akan menghentikan bantuannya untuk Palestina jika Hamas memegang kendali pemerintahan di Palestina.
Gresh mengatakan, persyaratan-persyaratan yang diajukan pihak Barat terhadap Hamas sebagai hal ‘tidak logis.’ "Apa yang disyaratkan Eropa tidak bisa dilakukan. Tidak logis meminta Hamas untuk mengakui Israel untuk memulai hubungan," katanya.
Meski demikian, Gresh menilai Hamas juga selayaknya menghormati perjanjian yang ditandatangani oleh otoritas Palestina dan Israel. "Hamas adalah kekuatan politik yang memiliki pendekatan pragmatis. Hamas bukan organisasi ekstrimis," tegas Gresh.
Menurut Gresh, Israel lah yang menjadi alasan utama di balik tersendatnya proses perdamaian Israel-Palestina. "Kebijakan Israel memperluas pemukimannya menjadi batu sandungan sehingga perdamaian mengalami jalan buntu. "Israel melihat Arafat sebagai penghalang bagi proses perdamaian, dan pandangan Israel itu tidak berubah hingga kini, saat Palestina dipimpin Mahmoud Abbas," ujar Gresh.
Sikap Barat terhadap Hamas juga dikritik oleh harian The Guardian, terbitan Inggris. Harian itu menulis, Eropa terlalu ‘cerewet’ atas masalah penolakan Hamas terhadap Israel. "Sejarah dan kebijakan-kebijakan politik tidak berjalan beriringan. Selama puluhan tahun, Israel menolak mengakui keberadaan bangsa Palestina, seperti Turki tidak mau mengakui bangsa Kurdi," tulis The Guardian. Harian itu juga mengilustrasikan kondisi 15 tahun lalu di mana delegasi asal Palestina terpaksa harus diselundupkan ke dalam delegasi asal Yordania, agar bisa hadir dalam pertemuan-pertemuan tingkat tinggi internasional.
Kritik Gresh terhadap Kebijakan Chirac
Terkait masalah Israel, Alian Gresh mengkritik kebijakan pemerintah Perancis di bawah pimpinan Presiden Jacques Chirac. Gresh menilai kebijakan politik Perancis sangat lemah, karena Perancis tidak mau menghadapi konfrontasi dengan AS dan Israel.
Gresh mengungkapkan, setelah hubungan AS-Perancis merenggang karena masalah invasi ke Irak, Chirac pelan-pelan memperbaiki hubungan itu. "Perancis mendukung pemerintahan Irak yang masih di bawah kekuasaan AS dan menyerukan solusi politik terhadap krisis di Irak," katanya.
"Sepanjang masalah Palestina, posisi Perancis secara prinsip tidak pernah berubah. Namun Paris dan Tel Aviv menunjukkan tanda-tanda saling mendekati dengan saling berkunjung antar pejabatnya dan peningkatan kerjasama di bidang militernya," papar Gresh. (ln/iol)