Seandainya dana saksi pemilu yang milyaran itu untuk membeli beras bagi anak-anak di daerah terpencil yang kelaparan, maka tak akan ada lagi busung lapar yang membunuh bayi dan anak-anak di negeri ini.
Fakta busung lapar bayi dan anak-anak suku Asmat yang merenggut puluhan nyawa membuat semua anak negeri ini menangis-pilu, sedih dan sekaligus marah. Karena terjadi di saat pesta demokrasi sedang menghambur-hamburkan begitu banyak anggaran.
Seandainya para bakal calon presiden rajin blusukan kesana, seandainya para calon bupati, walikota dan gubernur juga rajin menyapa mereka, seandainya para politisi partai menengok kesana, seandainya anggota DPR dan DPRD mengisi waktu reses mereka di sana, maka busung lapar tak akan menimpa anak-anak Asmat itu.
Banyak Asmat-Asmat yang lain. Mereka hidup terpencil dan jauh dari lokasi blusukan. Tak tersentuh kamera dan berita media. Mereka sedang berhadapan dengan nasib perut dan kesehatannya.
Kasus kurang gizi bayi-bayi Asmat mesti membuka mata negara untuk pertama, mendata dan mengidentifikasi masyarakat terpencil yang berpotensi kurang gizi dan kelaparan seperti suku Asmat. Kedua, membuat program khusus dan anggaran memadai untuk mengatasi mereka, tanpa syarat dan alasan.
Tapi, jumlah pemilih suku-suku itu terlalu sedikit. Tak signifikan suaranya untuk kepentingan pemilu. Hanya buang-buang waktu. Tak sesuai dengan biaya yang harus dikeluarkan. Itung-itungannya defisit.
Begitulah kira-kira kalkulasi politiknya. Rakyat seringkali dilihat dari kekuatan jumlah pemilihnya. Bukan karena masalah dan kebutuhannya. Tidakkah amanah undang-undang adalah berlaku adil dan memeratakan kesejahteraan. Jika tidak sanggup, jangan pernah berniat jadi presiden, gubernur, bupati dan walikota. Sebab, rakyat bukan alat mainan demokrasi. Tetapi, mereka adalah amanah undang-undang untuk dijamin hak hidup dan kebutuhannya.