Kalau soal membuat alasan, apalagi menyalahkan korban, bangsa ini jagonya. Tidakkah beberapa waktu lalu, USD 1 juta dikirim ke Palestina? 20 milyar rupiah disumbangkan untuk membangun rumah sakit di Gaza? Tidak kurang apanya blokade tentara Israel menghalau bantuan? Tapi, toh bisa. Bantuan sampai. Anak-anak Palestina tidak kena busung lapar. Belum lagi untuk etnis Rohingya. Kenapa giliran untuk anak negeri sendiri, muncul secara kreatif berbagai alasan?
Publik pun bertanya: kemana dan untuk apa blusukan para bakal calon presiden selama ini? Untuk persiapan 2019? Apakah karena suku Asmat jumlah penduduknya sedikit dan tidak signifikan suaranya untuk 2019? Kemana para anggota DPR dapil Asmat? Kemana saja bupati dan gubernurnya? Kabarnya, mereka lebih sibuk di Jakarta dari pada urus rakyatnya.
Soal anggaran, ini daerah khusus. Anggarannya juga khusus. 1,5 triliyun lebih untuk Kabupaten Asmat. Kemana aja anggaran yang 10% diamanahkan untuk kesehatan?
Di tengah gegap gempita pilkada dan persiapan pilpres, berita busung lapar bayi-bayi dan anak-anak suku Asmat terasa merobek nurani bangsa. Penyakit campak yang mewabah dan menyerang mereka terabaikan karena kesibukan mengurus pernak-pernik demokrasi yang kebanyakan asesoris dari pada substansi.
Kabar suku Asmat seolah menjadi kritik memilukan kepada semua program Kartu Indonesia Sehat dan infrastruktur yang selama ini dibanggakan. Kabar ini sekaligus mengkonfirmasi kemiskinan anak negeri yang terabaikan oleh kesibukan politik yang gaduh dan menghabiskan banyak anggaran. Andaisaja mahar dan cost politik itu diarahkan untuk membangun puskesmas di pulau terpencil suku Asmat, atau untuk menyediakan beras dan membangun infrastruktur jalan buat mereka, maka nasib anak-anak suku Asmat tidak akan mati karena gizi buruk seperti sekarang. Dari pada untuk membeli gambar, baliho dan biaya media buat iklan dan asesoris pencitraan.