Eramuslim.com – Di saat presiden sibuk blusukan mencari dan mengumpulkan suara untuk persiapan pilpres 2019, bayi-bayi dari Suku Asmat mati kelaparan. 67 anak kehilangan nyawa. Angka yang masih terus bertambah. Sementara partai-partai asik menghitung mahar dan cost politik. Dan para kepala daerah tak berhenti bergerilya untuk mengatur strategi memperpanjang kekuasaannya.
Ketika sejumlah lembaga survey sedang bekerja mengkualifikasi suara pemilih untuk para calon yang membiayai, jeritan anak negeri di ujung timur sana pecah. Jeritan yang mengusik ritual demokrasi yang sarat manipulasi. Mereka bertanya: untuk siapa sesungguhnya uang APBN yang sekarang sedang dihambur-hamburkan untuk biaya pilkada itu? Untuk sebuah prestise kedudukan atau untuk kepentingan bangsa? Atau malah untuk mengadu nasib para politisi di meja “taruhan demokrasi”?
Sejak tangis anak bangsa di ujung timur sana dibeberkan media, sejuta alasan lalu dibuat. Medannya terlalu sulit. Karena Kabupaten Asmat berada di pulau terpencil. Infrastruktur tidak memadai untuk dilewati. Ini jurus jitu untuk berkelit. Semua alasan “Klise”. Kemana larinya dana pinjaman luar negeri yang katanya untuk proyek infrastruktur selama ini?
Malah ada tuduhan: pola hidup masyarakat Asmat tidak sehat? Itu namanya “blamming the victim”. Menyalahkan korban. Pertanyaannya mesti dibalik: mengapa mereka hidup tidak sehat? Tanggung jawab siapa kesehatan itu? Tidakkah permintaan maaf karena lalai mengurus mereka, akan jauh lebih bijaksana? Semua gengsi untuk melakukan. Takut disalahkan.