Calon yang sukses dapat tiket diusung. Mereka senyum, gembira dan eforia. Yang gagal, teriak tidak terima. ILC jadi ajang untuk mencurhatkan luka. La Nyalla menyesal, tapi makin terkenal.
Yang pasti, koalisi penuh ketidakpastian. Yang jelas, koalisi penuh ketidakjelasan. Baik proses, apalagi tujuan. Hanya satu yang jadi standar ukuran: kemenangan. Minimal keuntungan dari cost dan mahar politik, jika ada kelebihan.
Di Jawa Tengah PDIP gabung PPP dan Demokrat. PKB ada di kubu seberang. Di Jawa Barat Demokrat sama PKB, PPP, Nasdem dan Hanura. PDIP di kubu lawan. Di Jawa Timur PDIP dan PKS merapat ke PKB untuk melawan koalisinya Demokrat, PPP dan Hanura.
Bingung bukan? Sama! Penulis lebih bingung. Semua rakyat juga bingung. Bingung berjama’ah.
PPP dukung calon non muslim sudah biasa, Perindo usung kader muslim bisa terlaksana. Alasan bisa dibuat. Dalil tinggal pilih yang mana. Jangan bawa-bawa agama. Itu SARA! Waduh…
Alih-alih bawa ideologi, sekedar janji dan konsistensi pun tak mampu dipenuhi. Bicara seolah dari hati, praktek koalisi jelas tak berbasis nurani.
Inilah fenomena koalisi saat ini. “Acak adut”. Para calon dengan seluruh timsesnya bertarung dengan total energi, sementara “pemain sejati” (para bohir) sibuk mengkalkulasi. Proyek ini berpotensi, proyek itu masuk nominasi. Para akuntan dikontrak untuk menghitung yang pasti-pasti.
Sedih? Setidaknya prihatin melihat fakta ini. Mengapa koalisi model “acak adut” itu yang terjadi? *Pertama,* rasio koalisi berbasis kepentingan untuk menang, bukan perjuangan. Sahwat menang lebih dominan. Platform bukan utama, konstituen tak jadi pertimbangan. Yang penting menang, lalu berkuasa. Bagi partai, kekuasaan adalah sumber penghidupan.