Direktur Emergency Human Rights Watch, Peter Bouckaert, menyebut apa yang terjadi di Republik Afrika Tengah adalah menjadi mimpi buruk bagi umat Islam, dalam sebuah artikel berita yang diterbitkan surat kabar Washington Post, Amerika Serikat pada hari Senin (17/03) kemarin.
Dalam artikel tersebut, Bouckaert menceritakan kisahnya ketika berkunjung ke kota Bouzaympteyl yang terletak sekitar 185 km sebelah utara dari ibukota Bangui, di mana dia bertemu dengan banyak korban penyiksaan dan pembantaian warga Muslim yang dilakukan oleh milisi Anti-Balaka Kristen.
Ia menjelaskan bahwa baru-baru ini milisi Anti-Balaka telah menyembelih lebih dari 80 warga Muslim di kota Bouzaympteyl, sebagai pembalasan atas apa yang dilakukan oleh kelompok Celica (kelompok pembela Muslim).
Dalam catatan perjalanannya, Bouckaert mendapati banyak orang tua Muslim meninggalkan anak-anak mereka yang cacat untuk melarikan diri dari kekejaman milisi Anti-Balaka.
Bouckaert mencontohkan dalam hal ini anak bernama Maicaela dan adiknya yang menderita penyakit polio ditingalkan oleh orang tua mereka yang melarikan diri dari kelompok Anti-Balaka.
Mereka kini berada dalam naungan pendeta Katolik di kota Bouzaympteyl, tidak seperti kota-kota lain yang tidak mau menaungi warga Muslim.
Abizaid dan Bouckaert mengatakan bahwa sebagian besar kota-kota yang dikunjungi mereka selama perjalanan yang berlangsung lima hari di Republik Afrika Tengah, semuanya kosong tanpa adanya warga Muslim meskipun adanya kehadiran pasukan perdamaian di kota-kota ini.
Mereka berdua menyebut pasukan Prancis dan pasukan Uni Afrika berperilaku pasif dan membiarkan pencurian dan pembakaran rumah warga Muslim di Republik Afrika Tengah. (Almasryalyoum/Ram)