Tiongkok sudah siap untuk itu. Kepergian Kim Jong-un ke Singapura pun sudah menggunakan pesawat Tiongkok: Boeing 747 khusus untuk pejabat tinggi Tiongkok. Korut tidak sebesar Jerman Timur dulu. Yang harus digendong Jerman barat sendirian.
Bagaimana dengan Amerika?
Rasanya sulit mengharapkan apa pun dari Amerika. Amerika, sebagai negara, tidak punya anggaran. Untuk itu. Sedang swastanya, sekarang ini, justru menarik kembali dana mereka ke dalam negeri. Ideologi Trump yang ‘America First’ juga tidak akan sinkron dengan tugas ‘menolong orang lain’ seperti itu.
Ini sudah bukan zaman perang dunia kedua lagi: siapa yang menang harus membangun yang kalah. Seperti Amerika harus membangun Jepang dulu. Setelah Jepang menyerah dulu. Setelah Amerika menjatuhkan bom atom ke Hiroshima dan Nagasaki dulu.
Tidak berlaku lagi humor Gus Dur ini: Memajukan Indonesia itu sebenarnya gampang sekali. Nyatakan saja perang dengan Amerika. Kita kan pasti kalah. Lalu Amerika-lah yang akan membangun Indonesia.
Kata Gus Dur lagi: persoalannya adalah, bagaimana kalau kita yang menang!
Korut sekarang ini sudah menyerah. Kalah. Tapi Kim Jong-un harus cari jalan sendiri. Untuk membuat negaranya keluar dari kesulitan.
Bahkan mungkin Amerika justru akan lebih berhemat: menarik 80.000 tentaranya di Korsel. Tidak ada gunanya lagi. Perdamaian Korut-Korsel ini membuat penempatan tentara besar-besaran di Korsel tidak relevan lagi.
Kecuali Amerika masih ingin sengaja menakut-nakuti Tiongkok. Dan Tiongkok-nya mau takut.
Tanda-tanda ke arah itu ada: di saat perhatian dunia tertuju ke Singapura kemarin Amerika bikin ‘salipan di tikungan’. Amerika meresmikan kedutaan besarnya di Taiwan.