eramuslim.com – Kebijakan tindakan keras China terhadap kelompok minoritas Uighur di Xinjiang kian meningkat. Baru-baru ini, sebuah laporan dari Human Rights Watch (HRW) mengungkap bahwa China telah memantau secara ilegal melalui ponsel warga Uighur dan mengkriminalisasi warga yang memiliki aplikasi keagamaan Islam.
Dilansir dari Al-Jazeera pada Selasa (9/5), seluruh warga Uighur dipaksa untuk mengunduh aplikasi Jingwang Weishi. Aplikasi ini memungkinkan pihak berwenang untuk memantau konten di ponsel mereka. Bahkan, turis yang berkunjung ke Xinjiang diwajibkan untuk memiliki aplikasi serupa yang disebut Fengcai.
Penjabat direktur China di HRW, Maya Wang, mengatakan bahwa pihak berwenang dengan sengaja menggunakan penyadapan itu untuk membatasi ruang gerak muslim Uighur.
Wang menyebut aplikasi atau konten yang bermuatan keagamaan sangat dilarang pemerintah, bahkan bacaan dari Al-Quran dan lagu-lagu Islami dianggap sebagai dukungan terhadap ekstremisme yang mengancam keamanan Beijing.
“Pemerintah China secara keterlaluan dan berbahaya menggabungkan Islam dengan ekstremisme kekerasan untuk membenarkan pelanggaran menjijikkan terhadap Muslim Turki di Xinjiang,” kata Wang.
Untuk itu, Wang mendesak agar PBB segera mengambil tindakan yang sudah lama tertunda dengan menyelidiki pelanggaran pemerintah China di Xinjiang dan sekitarnya.
HRW memiliki data kepolisian Xinjiang yang bocor ke Intercept tahun 2019. Data itu berisi 11,2 juta pencarian yang berasal dari penyadapan 1 juta ponsel Uighur antara 2017 dan 2018.
Setelah diperiksa, data itu menunjukkan bahwa bahwa 57 persen konten yang diidentifikasi bermasalah oleh kepolisian China adalah materi keagamaan biasa.
Hanya 9 persen dari file yang ditandai berisi konten kekerasan dan 4 persen berisi konten yang menyerukan kekerasan terorisme.
Setelah meluncurkan “Kampanye Strike Hard against Violent Terrorism” pada tahun 2014, China meningkatkan upayanya untuk memasukkan pengawasan massal melalui pengumpulan data biometrik, aplikasi kepolisian, dan teknologi pengenalan wajah.
Beijing membantah melakukan pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang dan mengatakan bahwa pusat pendidikan ulangnya sangat pentin untuk memerangi ekstremisme kekerasan dan mengentaskan kemiskinan.
(Sumber: RMOL)