Otoritas lalu lintas di Fengzhen, kota di tenggara Hohhot, pada Senin mengumumkan akan mengeluarkan keadaan darurat untuk melibatkan bahasa etnis guna menjaga stabilitas politik dan sosial di kota.
Sementara itu berdasarkan penelusuran Reuters, video protes yang muncul di situs media sosial Weibo pada Senin (31/8) tampak sudah dihapus.
Aksi protes tersebut juga langsung memantik amarah warga Mongolia yang merdeka.
Di ibukota Ulaanbaatar, sejumlah kecil warga berkumpul di depan Kedutaan Besar China untuk memprotes perubahan kurikulum tersebut.
Mantan Presiden Mongolia, Tsakhia Elbegdorj pada Selasa (1/9), melalui akun Twitter-nya mengatakan, penggunaan bahasa ibu dan kitab suci merupakan hak setiap orang, termasuk etnis Mongolia.
“Hak untuk belajar dan menggunakan bahasa ibu seseorang adalah hak yang tidak dapat dicabut untuk semua,” ujarnya.
Di sisi lain, standarisasi pendidikan nasional di China merupakan kebijakan utama di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping yang terus mempromosikan kesetiaan pada negara dan Partai Komunis.
Program untuk menggantikan bahasa etnis dalam mata kuliah inti telah diterapkan di Xinjiang dan Tibet mulai 2017.
“Menguasai bahasa lisan dan tulisan nasional adalah tanggung jawab dan kewajiban setiap warga negara China. Ini adalah perwujudan nyata dari cinta untuk partai dan negara,” kata outlet media pemerintah, Inner Mongolia Daily.
Sejauh ini, Kementerian Pendidikan China dan Komisi Urusan Etnis belum memberikan tanggapan. []