Sementara itu, Rusia memupuk ketakutan akan perang nuklir.
Pada awal April, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov memperingatkan risiko perang dunia ketiga.
“Saya tidak ingin meningkatkan risiko itu secara artifisial. Banyak yang akan menyukainya. Bahayanya serius, nyata. Dan kita tidak boleh meremehkannya,” katanya di televisi pemerintah Rusia.
Putin kembali ke taktik menyiratkan eskalasi nuklir selama pidatonya pada 21 Februari.
“Saya terpaksa mengumumkan hari ini bahwa Rusia menangguhkan partisipasinya dalam perjanjian senjata ofensif strategis,” kata Putin, merujuk pada perjanjian New START, yang membatasi jumlah hulu ledak nuklir strategis yang dapat dikerahkan AS dan Rusia.
Dia tidak mengumumkan penarikan penuh dari perjanjian itu, yang diperbarui pada 2021 selama lima tahun.
Dalam pidatonya, Putin meminta badan energi nuklir negara, Rosatom, untuk siap melanjutkan uji coba senjata nuklir.
Alih-alih menegur Putin kali ini, China menghadiahinya dengan kunjungan Menteri Luar Negeri Wang Yi keesokan harinya, yang tampaknya merupakan cikal bakal kunjungan kenegaraan Xi.
“Kami menunggu kunjungan Presiden Republik Rakyat Tiongkok ke Rusia, kami telah menyetujui hal ini,” kata Putin kepada Wang. “Semuanya maju, berkembang. Kami mencapai batas baru,” kata Putin.
Keputusan China untuk mendekati Rusia pada saat dibutuhkannya dapat menyelaraskan kembali hubungan global secara fundamental.
Rusia sejauh ini menampilkan dirinya sebagai kontes dengan Amerika Serikat, yang dimana telah memberi Ukraina banyak persenjataan yang membuatnya tetap berperang. [Aljazeera]