Sesampainya di Tanah Minangkabau, dia terlibat perang sampai ke Matur, ke Lima Puluh Kota, bahkan sampai ke Air Bangis. Namun, suatu ketika dalam sebuah peperangan, dia sangat terkejut.
Sebab, dia mendengar adzan di medan perang, bahkan lebih lantang daripada suara tentaranya sendiri.
Kaum Paderi dan pasukan Sentot sama-sama terkejut. Rupanya dalam pasukan tentara yang dikirim Belanda dari Jawa, ada pula orang bersurban, orang yang mengerjakan sholat khauf di medan perang, sama seperti yang dilakukan oleh pasukan Paderi.
Mereka juga sama-sama terkejut karena semuanya memakai jubah putih dan bersurban. Lama-lama, meski Belanda selalu mencegah hubungan Sentot dan kaum Paderi, hubungan Sentot dan kaum Paderi tak bisa terelakkan.
“Rupanya pakaian sama, hati sama, dan keimanan yang sama, serta cita-cita yang sama. Mengapa kita berperang?” tulis Buya Hamka.
Sentot yang saat itu masih berusia 27 tahun sangat terharu. Ia teringat kembali pada Pangeran Diponegoro yang telah diasingkan Belanda.
Sentot pula yang turut mempercepat kekalahan Pangeran Diponegoro karena menyerah setelah diimingi-imingi konpensasi oleh Belanda berupa wilayah kekuasaan.
Timbul takanan batin yang sangat hebat dalam diri Sentot. Dia ingin memperbaiki kesalahan yang telah diperbuat dan ingin berbuat sesuatu jasa yang besar untuk melawan penjajah Belanda.
Sementara itu, di kalangan kaum Paderi, muncul kesadaran bahwa mereka berperang dengan Kerajaan Minangkabau. Padahal, kedua-duanya bergama Islam.
Selama ini mereka diadu domba oleh Belanda. Mereka yang akan habis, sementara Belanda yang akan mendapat untung.
“Bertemulah cita-cita Sentot dengan cita Paderi dan dengan cita Kerajaan Minangkabau,” tulis Buya Hamka.