Pada saat yang sama, Perang Paderi berkecamuk di Minangkabau, Sumatra. Di sinilah Belanda kembali memainkan strategi devide et impera-nya atau memecah belah.
Belanda memfitnah Pasukan Paderi pimpinan Tuanku Imam Bonjol dengan sebutan sebagai kaum yang menganut paham yang sesat dan merusak Islam. Dikatakan kepada Sentot bahwa Belanda memerangi kaum Paderi itu untuk melindungi kaum Islam yang cinta damai di bawah sultannya di Pagaruyung.
Belanda menjanjikan kepada Sentot, kalau mau ikut memerangi kaum Paderi itu, ia akan diberikan satu daerah yang luas dan menjadi wilayah kekuasaannya.
Daerah yang dijanjikan adalah suatu wilayah di Minangkabau, yaitu di daerah bernama XIII Koto. Adapun pangkat yang kelak akan diberikan setingkat Mangkunegoro di Pulau Jawa.
Sentot pun menerima tawaran itu. Namun, Gubernur Jenderal Belanda di Batavia mengirim surat rahasia kepada residen militer dan sipil di Padang supaya dijaga, jangan sampai ada hubungan kaum Paderi dengan Sentot.
Sentor dengan pasukannya berangkat ke Minangkabau pada 1832, yaitu tiga tahun setelah dia menyerah kepada Belanda.