Sentot yang ketika itu posisinya jauh dan tercerai-berai dengan Pangeran Diponegoro akhirnya bermusyawarah dengan pasukannya.
Akhirnya, disepakati bahwa Sentot dan pasukannya menyerah. Namun, dengan catatan, wilayah yang akan dikuasai Sentot dan pasukannya nanti akan dipergunakan untuk menanamkan dan meluaskan ajaran Islam.
Pada 24 Oktober 1829, Sentot Ali Basya, salah seorang panglima Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro, menyerah. Jenderal De Kock menyambut penyerahannya itu dengan kehormatan militer tertinggi.
Prof Hamka (Buya Hamka) dalam bukunya berjudul Dari Perbendaharaan Lama menuliskan, Belanda mengakui kedudukan Sentot sebagai panglima perang. Tidak diganggu gelar Basya dan Senopati milik Sentot.
Setelah ia menyerah, Belanda memberikan konpensasi untuk Sentot, yaitu diberikan harta dan diperlakukan sebagaimana layaknya pangeran-pangeran Jawa yang berdaulat.
Namun, Belanda tidak menunaikan janjinya untuk memberikan Sentot kekuasaan wilayah. Padahal, Sentot dan pengikutnya membutuhkan wilayah kekuasaan untuk menanamkan dan menyebarluaskan ajaran Islam.
Pasukan Sentot terdiri atas 1.800 orang yang terlatih dengan baik. Sentot khawatir jika semangat perjuangan pengikutnya menjadi kendor. Mereka adalah santri yang kuat beribadah. Semuanya memakai surban dan jubah putih.